*dd nana
-Pada awalnya, mungkin, kosong
sebelum sabda didengungkan.
Yang rebah di legam, belum punya keluh
karena rindu masih janin yang tak kenal
Ikrar.
Maka jangan salahkan penolakan ini
walau yang suci meminta atas titah penguasa.
Sebelum Jibril mencuitkan sayapnya.
-Rauplah bila itu kehendak. Dan aku, rahim yang akan menangis, kelak.
Di hari pertama, diam-diam mata paling tajam
mengawasi dengan seksama. Tak ada kata, hanya tanya
yang redam di dada. Pepohonan berkesiut, alir air mengisut.
Ada yang mulai keriput, saat rumput-rumput yang menyangga
para kaki beringsut.
Sedang di bawah langit, yang legam berdentam-dentam
matanya menatap cemas. Hari keenam telah dilalui.
-Tinggal satu hari. Maka lapangan saja hati ini menerima
takdir. Menghitung setiap tetes darah yang kembali
ke rahimku. Darahku jua itu.
Mata paling tajam tertolak masuk
Beringsut dengan api yang nyala di tubuh pualamnya.
Akhirnya dia berikrar menjadi petualang dan siap melata
mencari kunci yang tak dimilikinya.
-Padahal aku yang lebih tua dan paling setia.
Sayap-sayap menciut rata dengan yang legam
kepala-kepala tertunduk. Doa-doa memenuhi angkasa.
Aku mencium Danur.
Mata paling tajam tersungkur
Rindu mulai di rahimkan
Sebelum nyeri ada dan berumah pada dada
dada paling sunyi.
-Ikrarku, melukis kosong itu hingga para kekasih mengaduh
mengasuh luka-luka yang diciptanya sendiri pada diri.
*Sekadar penikmat kopi