Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Ruang Sastra Kritik Sastra Poskolonial

Membaca Dua Nyai

Penulis : MAWWS feat. JatimTIMES - Editor : Redaksi

03 - Sep - 2020, 15:01

Ist
Ist

MALANGTIMES - JJ Rizal, dalam pengantar dua novel ini, memuji Nyai Dasima versi S. M. Ardan (1960) sebagai sebuah koreksi dan rekonstruksi dari Nyai Dasima versi G. Francis (1813). “Tokoh Nyai Dasima diidealisasi oleh Ardan sebagai perempuan korban struktur sosial kolonial yang ingin mengembalikan posisi dirinya, mempertahankan jati diri dan harga diri dengan memberontak terhadap kungkungan cara hidup pernyaian bentukan tuan putih” (xii).

Pramoedya juga menyatakan novel versi Ardan memasukkan “pesan nasionalistik” dan menjalankan upaya-upaya perlawanan terhadap sikap politik kolonial dalam sastra.

Baca Juga : Kamu adalah Mimpiku

 

Akan tetapi, MAWWS menemukan hal yang bertolak belakang dari pendapat keduanya. Apabila versi Ardan disebut nasionalistik, itu hanya karena berkali-kali Nyai mengucapkan kalimat “Saya lebih suka di kampung, di antara bangsa sendiri.” Dan itu terlalu dangkal untuk disebut nasionalistik.

Yang sangat kentara dari versi Ardan ini justru sikap poskolonial khas kaum intelektual (penulis) Indonesia. Oleh Ardan, orang-orang pribumi (Betawi) digambarkan miskin, lemah, naif (dalam hal ini, dianggap baik), dan tokoh wanitanya, yaitu Nyai, digambarkan lemah, ditindas laki-laki, sama sekali tidak tegas, tidak mampu berpikir sendiri, tidak berdaya, harus dibimbing, dituntun, malu-malu, takut-takut, sering menangis, melamun, dan hidupnya berakhir tragis. Gambaran tokoh seperti ini justru mendehumanisasi wanita, dan kontradiktif dengan anggapan JJ Rizal tentang “mempertahankan harga diri dan jati diri.” Beginikah jati diri wanita pribumi?

Versi koreksi ini sangat bertolak belakang dengan gambaran Nyai dan masyarakat Betawi versi kolonial-nya G. Francis. Dan tentang Nyai sendiri, “… sebab itoe Njai radjin dan pinter bekerdja, maka Toean W. tjinta diaja ibarat dia poenya bini kawin segala hartanja dia kasi itoe Njai pegang ….” “ … banjak orang Slam lelaki kirim prampoean-prampoean toea kepada dianja boeat boedjoek, tetapi Njai Dasima tiada soeka toeroet dia orang poenja maksoed, serta soeroe poelang itoe orang-orang dengan mara.” 

Sebagai pembaca di Abad 21 ini, rasanya Nyai Dasima karya G. Francis lebih membangkitkan rasa nasionalistik. Karena kita bisa melihat, ternyata bangsa pribumi tidak selemah itu, tidak sebodoh itu. Keberatan orang pada versi G. Francis adalah karena dia menggambarkan pribumi (Islam) sebagai bangsa yang percaya tahayul, pemadat, mata duitan, namun “merekontruksinya” dengan menggambarkan mereka sebagai bangsa miskin dan lemah juga tidak memperbaiki narasi. Setidaknya, masyarakat pribumi jaman kolonial yang diceritakan Francis sudah memiliki tatanan dan kebudayaan, tidak merunduk-runduk pada orang-orang kulit putih.

--------------------------------

Baca Juga : KITAB INGATAN 100

 

Konten ini merupakan kerja sama JatimTIMES dengan Malang Women Writers' Society. JatimTIMES membuka peluang dan memberi kesempatan pada komunitas-komunitas lain untuk berkontribusi.


Topik

Ruang Sastra


Bagaimana Komentarmu ?


JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

MAWWS feat. JatimTIMES

Editor

Redaksi