Seorang lelaki menertawai segala hal tak penting di ruang tamu dalam tubuhnya.
Tubuhnya labirin, tertata rapi tapi menyimpan jebakan-jebakan.
Jebakan yang kerap membuat mata menangis mata kaki meringis.
"Maka tertawalah. Luka tak bisa kau bawa ke mana-mana. Percayalah raga dicipta untuk merana."
Lelaki itu beranjak ke beranda yang ada di tubunya. masih menertawai hal-hal tak penting. Tawanya semakin membuncah melihat orang-orang bersungut-sungut.
Memperebutkan hal-hal yang tak penting di luar tubuhnya masing-masing.
Baca Juga : Seharusnya Aku Mengiyakanmu Lebih Awal
"Mungkin, mereka sedang belajar melupakan tawa. Mengingkari tangisan. Pertikaian tak penting jadi harapan-harapan. Kasihan raga, kasihan raga, kasihan raga," ucapnya di sela tawa.
Lelaki itu pun semakin masuk di ruang-ruang tubuhnya sendiri. Menghidu aroma setiap lubang, merasakan denyut setiap ruang di tubuhnya sendiri.
"Raga ini sepurba khuldi. Yang sepi, yang meminta untuk diziarahi. Aku memilih tawa sebelum senyap meraja. Tangisan cukuplah diwakilkan pada Adam dan Hawa."
Yang penting dan kini kuanggap tak penting tak akan pecah. Jadi surga atau cinta serupa kisah-kisah yang diabadikan waktu.
Maka tertawalah. Mari menuju ruang tamu di tubuh masing-masing. Hidangkan secangkir kopi, jadikan ruang menyepi yang riuh suara dalam tubuh sendiri.
"Tapi revolusi itu suara yang pecah di luar diri."
Tapi, kata lelaki yang duduk di ruang tamu tubuhnya sendiri, revolusi lahir dari pasinya warna tulang. Merahnya darah yang sunyi berziarah sendiri. Ledakan-ledakan di ruang-ruang tubuh sendiri. Suara yang sepi dalam diri. Awalnya.
"Tapi, sudahlah. Jangan ganggu senja di ruang tamu tubuhku dengan hal-hal yang tak penting," tegasnya.
"Apa yang kau sebut tak penting itu," sungut suara lain di luar tubuh lelaki itu.
Suaramu. Suara-suara luar dari tubuhku. Yang lantang pun mendesis. Dan aku tak ingin mengulang peristiwa purba itu.
Sejarah desisan di luar diri yang membuat tubuh terjajah. Terpelanting dari ranting dan pecah sebelum tubuh berubah.
Mengintip Sejarah dari Jendela Rumah
Lelaki itu mengintip iring-iringan manusia yang riuh memecah sepi. Lewat jendela tubuhnya.
Seorang lelaki cahaya digiring dengan raga yang koyak dan darahnya serupa aliran air
di sungai merah. Mengalir mencari muaranya sendiri.
Baca Juga : KITAB INGATAN 94
Bibirnya tersenyum, terlihat tak gentar walau bergetar. "Kenapa kau tinggalkan aku. Kenapa kau tinggalkan aku."
Angin bergetar oleh cambuk duri yang lapar mengais-ais makanan di tubuh lelaki bercahaya itu. Sedang lelaki yang mengintip dari jendela tubuhnya terus mencerna peristiwa.
"Kita salib suara yang berbeda. Biar jera, biar reda. Biar suara tetap senada."
Begitulah manusia-manusia itu berkata-kata. Riuh memecah waktu, hampir rengkah kaca jendela lelaki yang mengintip peristiwa di dalam tubuhnya sendiri itu.
Sekejap, kedua lelaki itu bersitatap. Mata mereka berbicara, "Kalau kau mampu tertawa, lepaskanlah. Atau berikan saja tubuhmu sebuah senyuman."
Tapi, jangan tangisan yang memperpanjang pertikaian. Peristiwa tak bisa dikendalikan dengan dada sesak.
Lelaki yang mengintip di jendela tubuhnya itu akhirnya tertawa. Sebelum lesap lelaki bercahaya digiring ke bukit Golgota. Dengan jejak senyum. Dengan jejak senyum.
Sejak itu lelaki itu tertawa melihat hal-hal yang disebut penting, tapi dalam tubuhnya menjadi tak penting. Untuk ditangisi apalagi dijadikan bara api yang membakarnya sendiri.
*Penikmat kopi lokal