MALANGTIMES - Remah Ingatan November
*dd nana
1/ Ada yang tak bisa kau mamah sekaligus
cinta, misalnya, atau duka yang dipelihara ingatan
dan melampaui lapis raga, menjelma purba.
Karenanya luka dicipta, agar kau sempurna
agar usia, kelak, bisa berbicara :
"Telah aku tuntaskan hidup sebaik-baiknya, meremuk bersama luka, melayang bersama doa, merangkak serupa melata. Tentang surga dan neraka, itu tetap milik-Mu. Aku tak memaksa dan meminta,".
Ada yang tak bisa kau mamah seketika
karena kita masih manusia.
2/Kita, masih manusia, yang dicipta tak seketika
maka bersabarlah. Kesempurnaan telah dijanjikan
walau dengan segala titah yang dikeraskan
bahkan sampai pada pengusiran.
Taman yang menjelma belukar hutan
api yang mendesis dan meminta getah bening
ragamu. Luka yang juga meminta matamu
mengeluarkan air mata.
Maka bersabarlah, akan ada pertemuan yang diabadikan
walau tak seketika seperti yang kau pikirkan.
Kita masih manusia yang harus mengunyah setiap
hela nafas yang dihidangkan Tuhan di meja makan
yang kita sebut dunia. Bersabarlah, sayang.
3/Perjamuan malam dan kita berkumpul saling berhadapan
di belakang sebentang lukisan bercerita tentang kita
yang selalu kikuk dihadapan sunyi bermata surup.
Minumlah, katamu, memintaku
gelas kita telah terisi air mata, tak penuh tapi bisa
melegakan dahaga.
Seseorang di sisiku masih menahan guncang tubuhnya sendiri
sebelum mereguk air mata yang berkilau di gelas kaca.
Ini perjamuan untuk mengenang ingatan, ucapmu lagi
sebelum November lenyap, sebelum kita mencipta ulang cerita
yang membuat raga semakin tambun dengan luka.
Aku menghidu perih di meja perjamuan warna malam
yang disamarkan dengan warna warni makanan dan minuman.
November memberi cahaya, tapi tak sekuat mendung
yang memberi warna hitam.
"Masih perlu kita bersulang ?"
Beberapa kepala semakin merunduk, menggelapkan warna malam meja perjamuan. Seseorang, yang tak lagi bisa bersabar
merobek daging dengan giginya sambil berkata, "aku butuh belati untuk mencincang sepi. Biarkan aku menjadi Brutus agar suntuk tak jadi amuk. Agar sunyi tak selalu kita anggap suci,".
Meja perjamuan terlihat lenggang
di mataku tak lagi kulihat kerabat yang melingkar
hanya ada sebentang lukisan yang bercerita tentang kita
"Tak ada bunga untuk mereka yang lari dari sunyi dan memilih menjadi hiruk yang pikuk itu," tandasnya.
"Masih kita perlu bersulang ?".
*hanya penikmat kopi lokal