MALANGTIMES - Yang Rapuh Itu Suara
*dd nana
1/
Sepasang angsa berwarna putih
mengambang, tenang, di alun air danau yang tak
menyerah atas segala aksara yang dijejalkan manusia.
Langit masih biru
dan angin masih mengelus-elus hasrat
setiap yang hidup dengan caranya masing-masing.
Bernyanyilah, bernyanyilah wahai para pemilik nafas
sebelum semua diakhiri. Dengan keindahan ataupun keriuhan
yang tak pernah bisa dibayangkan isi kepala.
Tapi, sepasang angsa berwarna putih
tetap bungkam. Hanya mata mereka yang saling berbicara
suara-suara yang tak perlu disuarakan
karena mereka sangat faham, yang rapuh itu suara.
2/
Kami belajar pada yang purba
bebunyian tak perlu selalu diartikan, disuarakan,
diseragamkan. Karena segala yang serupa, sering juga
membuat kita harus waspada.
Suara-suara semakin pandai bersandiwara
dan mencipta begitu banyak topeng; muslihat ular beludak
bersisik kencana yang mengabdi pada legam dedahanan yang murung.
Maka, kata alun air, bunyikan suaramu ke dalam
sebelum kalian menyuarakannya ke luar.
Sepasang angsa berwarna putih terdiam
menikmati gemuruh suara di dalam dada.
3/
Tapi, akhirnya ada juga yang mengukir bebatuan
kulit kayu atau lembaran kulit domba
untuk memindah gemuruh suara dalam dada.
Dada kami tak selamanya baja, ucap mereka
biarkan kami semedikan suara pada gambar dan aksara.
Langit masih biru
dan angin masih saja mengelus-elus hasrat
sebelum luka tiba, sebelum duka membuat mata ditikam
perih paling telanjang, ucap sang angin sore hari.
Maka, gambar-gambar dan aksara saling kawin
berbiak, tumbuh di kepala-kepala yang menengadah.
Kami ingin berucap, bersuara. Kami ingin mengada, kami para pemilik
dunia. Yang melata saatnya tegak, runtuhkan segala yang bisu
dan bungkam.
Lahirlah perang dengan bebunyian yang disuarakan
"Telingamu menangkap keriangankah tuan dan puan?"
4/
Sepasang angsa berwarna putih
saling pandang, saling mengelus leher satu sama lainnya.
Tak ada suara, tak ada percakapan yang dibunyikan
Karena yang rapuh itu suara.
*Hanya penikmat kopi lokal