MALANGTIMES - Polemik berkepanjangan terkait revisi UU KPK, sampai saat ini masih terus diperbincangkan dalam masyarakat.
Pro dan kontra terkait hal itu masih juga meruncing dan belum ada titik temu penyelesaiannya.
Baca Juga : Akhir Kisah Sahabat Rasulullah yang Mengatakan Zakat Adalah Pungli
Satu pihak tetap mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu, lainnya meminta untuk di judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Lepas dari itu, Fahri Hamzah penggagas Garbi dan partai Gelora yang disebut oleh mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua sebagai calon presiden mendatang ini.
Menyampaikan cerita sebelum ramainya polemik revisi UU KPK.
Fahri menceritakan, saat proses dialog, diskusi untuk melakukan revisi UU KPK ke berbagai kalangan, salah satunya pihak kampus dan rektor, terdapat cerita yang membuatnya geleng kepala.
"Saat kita undang bahkan dialog untuk itu, dulu, ada rektor dan kampus yang takut untuk datang dan membahasnya. Padahal, itu kegiatan untuk pembahasan naskah akademik KPK," ucap mantan wakil ketua DPR RI ini.
"Seolah-olah ada yang tabu bila membicarakan atau menyentuh KPK,"ujarnya.
Fahri yang konsisten memberikan kritik kepada KPK selama menjabat sebagai anggota DPR (2004-2019) juga menyampaikan tidak bisa membiarkan institusi KPK merajalela dalam negara demokrasi.
"KPK itu penyimpangan demokrasi, anomali. Karena ada banyak falsafah dan prinsip demokrasi yang bertentangan. Bayangkan 15 tahun pemberantasan korupsi, indeks persepsi korupsi kita kalah dengan Malasyia, Singapura, dan negara lainnya. Kalah dengan negara-negara kerajaan seperti Arab, Kuwait, Qatar. Dimana indeksnya lebih tinggi dan pendapatan kapita masyarakatnya juga tinggi," ucapnya yang tegas juga menyampaikan, bahwa pemberantasan korupsi Indonesia itu telah menjadi fiksi.
Baca Juga : Pengantin 'Masker', Anak Kapolsek Beji Menyambut Hari Bahagia di Tengah Pandemi Covid-19
"Telah jadi fiksi, seolah-olah pemberantasan korupsi tidak bisa diberantas. Padahal negara lain bisa kok," imbuh Fahri.
Padahal, lanjut salah satu pendiri PKS ini, pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara cepat seperti negara lainnya.
"Bila KPK itu mau berendah hati untuk koordinasi dengan presiden, maka tuntas itu korupsi. Tapi karena saking independennya KPK, Presiden pun tidak dilibatkan," ujar Fahri.
Maka, lanjutnya, adanya revisi UU KPK ini, sebenarnya sebagai langkah untuk menarik presiden secara langsung bertanggungjawab atas pemberantasan korupsi serta memimpin orkestrasi pemberantasan korupsi.
"Maka desain ulang pemberantasan korupsi. Selamat datang pak Jokowi anda pimpin pemberantasan korupsi. Kita tunggu lima tahun ke depan," pungkas Fahri.