MALANGTIMES - Batu
*dd nana
1/
Kasar dan keras aku
Karena itu dinamakan batu
Yang remuk dan ditatah untuk menyekat
Mata. Yang sebagian sembunyi di ceruk waktu.
Jangan kau tanya umurku yang berlumut
Dan diam dalam segala kemelut
Tanyakan saja bagaimana aku bisa bisu
Menahan rindu pada waktu
Mengendapkan ngilu pada sunyi
Bunyi yang sembunyi
Untuk menyadap hening yang asing
Walau akhirnya harus berseteru dengan waktu.
Atau, kau tanyakan saja bagaimana aku mencinta
Dalam pura-pura cadas yang akan membuat mata
Tertusuk perih air mata.
Namaku batu
Karenanya kasar dan keras aku.
Kelak, kalau kau punya waktu
Akan ku bedah urat-uratku sambil kuhidangkan
Secangkir sejarah tentang tangisan
Paling purba. Hingga kita sama-sama mengerti
Menjalani hidup tak selalu seperti yang diguratkan
Pada lembaran lembut ombak yang pernah kau lukis itu.
Mengalir, menghempas dan terburai dan sejenak pecah
Pada tepi-tepi yang disebut takdir.
Namaku batu, puan
Kasar pada raga sendiri
Keras pada rindu yang letih menujumu
Alamat yang belum kutuliskan sebagai takdir
Dalam diam sunyi yang sempat dicatat
Tangan-tangan manusia yang jejaknya limbung
Karena cahaya cinta.
2/
Digenggam tangannya aku rasakan
Ngilu yang lebih perih dari luka yang menginap pada raga
Legamnya yang ditempa kisah-kisah.
Awalnya, adalah harmoni
Dan aku yang batu hanyalah penyaksi
Yang tak perlu untuk bersumpah apapun dihadapan siapapun
Nyaman dalam bentukku, berumah pada segala ceruk yang
Membuatnya bertanya.
"Kenapa tidak untukku? Bukankah aku yang punya hak atas
Segala yang dihidangkan waktu."
"Belajarlah dulu menyimak firman, anakku. Belajarlah dulu untuk sembunyikan nyala apimu. Belajarlah pada batu."
Digenggamnya aku di tangannya yang gigil itu
Setelah pelajaran yang tak pernah memiliki tepi
Membuatnya frustasi sebagai laki-laki paling awal diciptakan.
Di hadapannya sesosok tubuh tengkurap
Di tangannya, aku yang batu menyimpan warna paling menyala
Darah.
Di angkasa koak burung menyanyikan kisah
Serupa kutukan atas tangan yang masih saja aku lihat gemetar
Baca Juga : KITAB INGATAN 100
Dan aku yang malu dengan lumuran warna yang bukan milikku.
Awalnya seperti itu, puan.
Sila kau cicipi secangkir air mata ini.
3/
Takdirku itu sunyi
Mengawini segala bunyi yang bersembunyi
Sebelum kau pindahkan rumahku pada riuh bunyi
Karena kalian selalu yakin, pada yang pecah dan retak
Segala peristiwa bisa jadi ingatan.
*Hanya penikmat kopi lokal