MALANGTIMES - Saat ini kritik dari masyarakat ke pemerintah sudah mengalami pendangkalan. Kritik-kritik yang muncul adalah kritik-kritik yang tidak bermutu. Artinya, tidak mewakili kepentingan publik dan hanya membicarakan kepentingan elite. Hal ini dinyatakan oleh Pengamat Politik dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) Rachmad Gustomy, S.IP., M.IP.
Baca Juga : Ini Jawaban Ustaz Yusuf Mansur saat Ditanya Apakah Dukung Anies Baswedan Maju Pilpres 2024
"Kritik kritik yang muncul di antara kedua belah pihak itu adalah kritik-kritik yang tidak bermutu yang tidak mewakili kepentingan publik," ungkapnya saat ditemui beberapa waktu yang lalu.
Menurut Gustomy, kualitas kritik pemerintahan Jokowi tahun 2014 hingga 2018 adalah kritik yang remah-remah. Bahkan, ada kebijakan Jokowi yang justru tidak pernah menjadi perdebatan publik.
"Ada satu kebijakan Jokowi yang itu justru tidak pernah menjadi perdebatan publik tapi itu sangat penting, yaitu soal penegakan hukum, penegakan HAM, diskriminasi, dan semacamnya," tandasnya.
"Tapi justru perbincangan yang paling ramai itu adalah ini anaknya PKI atau anaknya pemberontak, ini makan pakai tangan kiri atau tangan kanan, baca al-fatihahnya itu makhrajnya jelas atau tidak," imbuh Gustomy.
Perbincangan-perbincangan tersebut dinilai sangat absurd. Tidak mewakili kepentingan publik. Jadi, selama ini yang dikritik oleh masyarakat sama sekali tidak substansif. Bukan pada substansinya, melainkan kulitnya.
"Dan lucunya kita beramai-ramai merayakan remah-remah kulit-kulit dan kerupuk itu," imbuhnya.
Baca Juga : Dewan Dorong Pemkot Malang Salurkan Bantuan Sembako bagi Warga Terdampak Covid-19
Nah, masalahnya, justru isu-isu substantif tidak banyak mendapat respon. Akan tetapi justru isu-isu yang renyah dan krispi itulah yang banyak sekali responnya. Misalnya di media sosial, nyinyir yang dilawan dengan nyinyir, sindir yang dilawan dengan sindir.
"Justru dalam beberapa riset itu tidak pernah kemudian menciptakan kesepahaman, tetapi justru menguatkan polarisasi," tandas Gustomy.
Nah, apabila hal ini terus berlanjut, Gustomy menyatakan bahwa Indonesia akan terjebak dalam konflik yang lebih panjang lagi di tahun 2019-2020. Akan tetapi kalau polarisasi ini dijadikan sebagai polarisasi positif dengan kritik yang sangat substantif maka 2019 akan menjadi momen Indonesia menuju masyarakat yang lebih matang dan lebih dewasa.
"Sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya elitis," tutupnya.