MALANGTIMES - *dd nana
-yang hidup dalam mimpi
Bulan baru saja hadir walau tidak bundar. Tapi awan hitam menghalaunya. Aku teringat rindu yang diusir punggungmu yang menjauh.
Sejak itu, aku melihat bunyi sunyi
Baca Juga : KITAB INGATAN 101
di matanya. Sedang jemari yang gigil kerap meracaukan mantra. Lewat abjad-abjad ganjil di malam yang lama ditinggalkan bulan.
Puisi-puisi lesi serupa mimpi
yang tangannya gemetar meminta jemarimu. Hingga getar hangat ruam kopi yang disesap memasuki jantung. Memberinya tanda. Kehidupan seharusnya serupa kopi. Yang pahit tapi memberi kehangatan
yang bisa membuat kita tertawa lepas.
Hingga bunyi memiliki nada
Tapi malam lama ditinggalkan bulan. Hanya iringan gelap awan yang masuk ke matanya. Menghitamkan yang lama kelam. Mendidihkan amarah yang tak memiliki ruang.
Mimpi dan puisi menjadi karib pada akhirnya.
Sebelum maut menjemputnya pulang. Hingga matanya tak perlu lagi mengenang punggung yang pergi menjauh.
- ijinkan aku bercocok tanam di matamu
Berkarat terlalu lama. Pada usia yang semakin senja.
Sebuah mimpi mendatanginya setiap lelap memangkunya.
Tanamlah teratai berdaun putih di mataku. Tanamlah.
Keringat membanjir di dahinya. Setiap kali matanya dipaksa terjaga.
Kini, mimpi itu telah di depan mata. Tapi, jemarinya begitu gigil dan keringat di dahi membanjirinya, kembali.
Tanamlah, tanamlah teratai berdaun putih di mataku. Jangan biarkan cinta menjadi penghalang takdir kita.
- cita-cita
Baca Juga : KITAB INGATAN 100
Cita-cita dilahirkan di buku-buku dan ruangan nyaman. Maka jangan salahkan kalau anak-anak memimpikan menjadi bagian dari kemegahan dunia.
Aku teringat Bilal kecil atau si Untung yang dibuang begitu saja.
Yang memeram cita-cita dalam pergulatan yang menggigilkan buku-buku sampai kini.
Apa cita-citamu, nak?
Menjadi manusia, ujarnya dengan mata yang berpijar. Entah kenapa aku akhirnya menangis.