MALANGTIMES - Sejarah pernah mencatat satu perwira militer Indonesia kelahiran 19 Oktober 1910 di Ongkaw, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Hindia Belanda, bernama Adolf Gustaaf Lembong.
Seorang 'petualang' perang yang disebabkan kondisi membawanya ke berbagai kancah pertempuran di negara lain. Dalam de Jong, Loe (1985) Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog (Kerajaan Belanda pada Perang Dunia II), Lembong yang tergabung dalam pasukan KNIL pada tahun 1943, ditangkap pasukan Jepang.
Baca Juga : Tundukkan Rasa Takut untuk Kemanusiaan, Ini Kisah Bripka Jerry yang Banjir Apresiasi
Lembong ditahan di Luzon, Filipina. Sampai akhirnya bersama tawanan lain, dia berhasil meloloskan diri. Petualangannya pun dimulai dengan bergabung dalam sebuah unit gerilya di pasukan USAFFE (United States Armed Forces in the Far East) - LGAF (Luzon Guerilla Armed Forces), pasukan gerilya beranggotakan gerilyawan Minahasa dan Filipina dalam menyerang Jepang.
Di pasukan inilah, Lembong yang namanya tidak terlalu dikenal dalam sejarah Indonesia dibanding Sudirman (panglima gerilya) atau Abdul Haris Nasution (pakar gerilya) dimulai. Sang gerilyawan yang bukan jago kandang itu berperang melawan pasukan Jepang di Filipina.
Dalam sebuah artikel yang ditulis Arsenio Lucson berjudul Inside Indonesia serta dimuat dalam surat kabar Manila Times 15 November 1948, tercatat aksi gerilya Lembong yang tidak kalah dengan Che Guevara. Bahkan Arsenio menulis, aksi Lembong juga tak jauh berbeda dengan kisah dalam film laga Hollywood. Ada cerita penyamaran dari sergapan musuh, pertempuran sampai pada romantisme cinta dalam era perang.
Arsenio mencatat, Lembong mahir menyamar sebagai penduduk lokal Filipina, penjaga kampung, sampai menjadi kondektur kereta api. Berkat itu, setiap kali dirinya terkena pemeriksaan Jepang, fisik Lembong yang berkulit putih dan mata sedikit sipit mirip Jepang bisa membuat nyawanya melayang karena dikira mata-mata Jepang.
Lembong menarik perhatian dan mulai diperhitungkan gerilyawan Filipina setelah aksinya saat perang. Tembakan dari senapannya tidak pernah meleset mengenai pasukan Jepang. Keberaniannya dalam medan tempur pun akhirnya membuat Kapten Robert Lapham dari Tentara Keenam US Army memberikan pangkat letnan dua pada Lembong. Dia juga menjadi komandan Skuadron 270.
Pada 6 Januari 1945, Lembong bersama anak buahnya yang berjumlah sembilan orang dan kesemuanya orang Manado mengepung gedung pusat makanan dan peralatan Jepang serta mengambil semua bahan makanan dan pakaian dari gudang, lantas membagikan kepada orang-orang.
Keesokan harinya, mereka menyergap truk berisi serdadu Jepang. Sebanyak 27 pasukan Jepang terbunuh dan tak ada satu pun korban dari pihak Lembong. Pertempuran demi pertempuran dimenangkan Lembong. “Kemenangan untuk semua,” teriak Lembong dan kawan-kawan.
Tidak hanya peperangan yang dilalui Lembong. Kisah cinta pun terjalin dalam perang gerilya tersebut. Lembong bertemu jodohnya, seorang gerilyawan perempuan Filipina bernama Asuncion Angel atau Cion. Kisah cinta mereka berakhir di pelaminan dalam desing peluru dan gegap gempitanya peperangan, 1944.
Ketika Perang Dunia II berakhir, Lembong kembali ke Indonesia yang saat itu sudah memproklamasikan diri dari penjajahan Belanda. Dia mendarat di Surabaya Januari 1946 dengan pangkat letnan satu. Petualangan perangnya pun dimulai di tanah kelahirannya, Indonesia, saat Belanda melancarkan aksi polisionil-nya atau dikenal sebagai Agesi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947.
Arsenio menulis, "21 Juli 1947, Belanda melanggar Kesepakatan Linggarjati dan menyerang wilayah Republik Indonesia. Lembong menyeberang dan melawan agresor Belanda demi mempertahankan ibu pertiwi, tanah airnya,”.
Baca Juga : Glenn Fredly Meninggal Dunia Tepat setelah 40 Hari Kelahiran Anak Pertamanya
Lembong yang kenyang dengan pertempuran di berbagai medan akhirnya memegang komando sebuah brigade tentara Indonesia. Dengan pangkat yang cepat naiknya, dari kapten ke mayor sampai menjadi letnan kolonel.
Ada dialog yang memperlihatkan bagaimana jiwa nasionalisme Lembong terhadap Indonesia. Saat Arsenio, 1948 menyambangi dan berkata, "Aku sedih melihat persenjataan TNI yang kurang ini, " ucapnya.
Lembong menjawab, "Kami hanya tentara miskin. Tetapi jika Belanda menyerang kami, kami akan bertempur. Kami akan memecah dalam kelompok kecil. Tak ada komunikasi teratur, melakukan sabotase dan taktik bumi hangus. Kami akan membuat mereka merasakan apa yang Balatentara Jepang rasakan di Filipina,“ ucapnya kepada Arsenio.
Tekad Lembong pun diikuti istri tercintanya, Cion, yang berkata, "Aku akan bersama suamiku ketika perang tiba, jika perlu aku harus jadi gerilyawan lagi."
Perjalanan Lembing dalam revolusi kemerdekaan terbilang tidak semulus saat dia bergerilya di Filipina. Sempat berselisih dengan Kahar Muzakar yang menculik dan menawannya sampai dirinya ditugaskan sebagai perwira staf di markas besar tentara, tanpa pasukan. Sampai pernah ditangkap dan ditawan di Ambarawa. Baru dibebaskan setelah perjanjian gencatan senjata Roem-Rojen.
Pagi, 23 Januari 1950, setelah Lembong kembali bergabung dengan TNI ditugasi membangun pusat pendidikan militer di Bandung, Lembong pun berangkat ke markas Divisi Siliwangi. Tanpa diduga, KNIL-KNIL mengamuk dan menyerang Divisi Siliwangi yang saat itu terbilang sepi. Lembong bersama ajudannya yang saat kejadian berada di dalam divisi pun kaget mendengar suara rentetan senapan.
Saat mereka keluar, para KNIL yang tergabung dalam gerakan APRA pimpinan Raymond Westerling memberondong Lembong dan Leo Kailalo dengan brutal sampai tewas.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, gedung di mana Lembong terbunuh sekarang dijadikan Museum Mandala Wangsit. Sedangkan jalan tempat museum ini berdiri sekarang dinamai Jalan Lembong. (*)