MALANGTIMES - KITAB INGATAN 24
*dd nana
1) Kulit
Teringat sebuah pohon besar di depan rumah masa kecilku. Berkulit hitam kecoklatan dengan gurat tegas serupa paras bapak. Atau wajah ibu yang sesekali disamarkannya guratan itu dengan bedak sederhana dalam cepuk kecil yang warnanya dimamah waktu. Saling silang menyilang yang saat kau pandang dengan seksama akan membuatmu jatuh cinta.
Ya, jatuh cinta pada kulit dengan berbagai gurat yang sekilas begitu menantang segala yang lembut. Yang kerap kubayangkan setiap malam bisa aku cumbu dengan dengus serupa babi hutan yang diburu pemburu.
Baca Juga : KITAB INGATAN 101
Pada kulit yang melindungi serat daging dan getah pekat sewarna darah, kita kerap berlindung sampai kantuk merayu mata. Sampai mimpi itu kembali datang. Mimpi yang membawa kita ke negara kulit. Dimana berjenis kulit dengan corak warna warni yang bukan sekedar pelangi, bercakap-cakap. Serupa pembicaraan ayah dan ibu dan sesekali aku yang diajaknya menafsir waktu.
"Kulit yang akan menjadi penjajah kulit lain itu adalah kulit itu, " tunjuk kulit berwarna tembaga penuh gurat-gurat serupa rengkah tanah di musim kemarau yang panjang.
Aku menatap kulit yang ditunjuknya. Dan berkata, kenapa.
"Karena roda waktu dimiliki mereka yang bermukim di tenggelamnya matahari. Kau pun nanti aku percaya akan jatuh cinta pada kulit yang aku tunjuk itu," tegasnya. 'Berhati-hatilah nak. Mata manusia lebih lemah dari mata ular. Mudah silau dengan segala kemilau,".
Dan, aku dibangunkan kulit pohon bergurat-gurat di depan halaman rumah masa kecilku. "Matahari telah terbenam, bangunlah. Kulitmu perlu dibasuh wudlu, ".
Kini, saat aku benar-benar hidup di negeri kulit, baru aku tahu. Bahwa usiaku habis di mamah para kulit. Gestur, kata-kata sampai isi kepala semua wajib dibungkus kulit yang diproduksi orang-orang yang tidak aku kenal sama sekali.
"Maka kau labuhkan lelahmu bersembunyi dari kemilau kulit di kulitku, bukan begitu, tuan? " katamu sambil merengkuh kulitku yang mengeriput oleh waktu.
Di luar, aku melihat kulit pohon bergurat di halaman depan rumah masa kecilku, perlahan menghablur. Menjadi serpihan-serpihan api yang disambut angin barat. Menjadi debu yang membuat mataku begitu pedih, perih.
"Bangunlah, saatnya kulitmu dibasuh air wudlu," bisik serpih kulit pohon di masa kecilku.
2) Mata
Sebagai ruang nyaman cahaya, maka rakuslah mata menyerap segala.
Sampai akhirnya di usia senja, rahim matamya hanya berisi omongkosong dan gumpalan lendir dunia yang pikuk.
"Sampai kau lupa ajaran pertama Tuhan. Tangisan dan air mata, " ucap sesuatu yang aku lihat menyerupai debu.
3) Telinga
Baca Juga : KITAB INGATAN 100
Serupa mata, maka telinga dicipta berpasangan. Walau pun harus terhalang dan tidak bersanding bersisian.
"Seperti kita kan, sayang. Berpasangan walau tidak mungkin bersisian dalam pelaminan, " ucapmu dari kejauhan.
"Ya seperti kita. Berpasangan dan ditakdirkan untuk merekam segala bunyi. Sampai sepi kembali datang. Tak pernah abadi bersisian dalam ikrar," kataku hampir menangis.
Sepasang telinga mendengarkan percakapan kita. Menyimpannya dengan diam yang begitu memesona. "Agar kau tidak lupa saat segala janji dimintai keterangannya, nanti, ".