*dd nana
1)
Sepasang kekasih
dengan raut wajah bercahaya
memasuki pintu ombak
yang deburnya melambatkan kaki waktu.
"Kita ruangkan rindu. Kita rayakan sekarat waktu, ".
Esoknya, raut sepasang kekasih
tembaga warna senja. Waktu selalu punya cara
membunuh anak-anak rindu.
"Kelak aku kembali lagi," bisikmu.
2)
Mungkin, panas nafas kita
yang membuat waktu merutuk dan mengutuk
rindu yang ingin abadi di tubuh terpisah kita.
Menjadikannya abu yang lukanya kekal
di telapak tangan kita yang tak lagi saling mencari.
Serupa kota yang dipenuhi payung hitam yang terbuka ke langit yang diam.
"Di luar hujan mulai turun, sayang," bisikmu dalam tidur.
3)
remah kenang kah yang sedang kau susuri itu, tuan?
Aku menatapnya dengan mata yang lama tak pernah ku lihat. Cermin, riak air yang hening atau pekat kopi
lama tak sudi menceritakan warna mataku yang menatapmu.
"Aku mencari perih agar ingatan terjaga. Padanya, padanya. "
Kisah kalian bukankah telah usai, tuan?
Tak ada tepi bagi pejalan kaki, bisik ku, menyeret ingatan pada hujan yang pernah membuatnya gigil di belakangku, dulu.
Malam semakin menua. Dan aku masih saja menyeret ingatan yang kau sebut remah itu.
Baca Juga : KITAB INGATAN 100
O tuan, kau buat lagi tubuh ringkihmu menjadi batu cadas
Keras dan purba dan sepi.
4)
Mungkin, kau telah pergi
mengubur ingatan di laut paling debur.
Tapi aku masih saja bermimpi tentang mu
yang menari di rumah kawin kita
dengan tubuh seranum pagi sewangi kopi.
Dosakah, puan?
5)
Yang membuatku mati
saat rindu tak mengenaliku
lagi.
Serupa lukisan yang tak lagi mengenali penciptanya.
Tega kau, cinta?
6)
Rindu memberi pesan terakhir yang sederhana
Seperti malam, seperti hujan terakhir di atas seng.
"Ting! "
Dadaku berdarah-darah yang mengalir di parit;
rumah para tikus beranak pinak.
Pesan rindu serupa ujung pedang paling merindu
yang mencari dadaku ; rumah anak-anak rindu
yang berlahiran mencarimu, puan.