Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Tak Banyak yang Tahu, Kota Malang Tidak Langsung Merdeka pada 17 Agustus 1945

Penulis : Pipit Anggraeni - Editor : Lazuardi Firdaus

17 - Aug - 2018, 13:09

Taman Makam Pahlawan Trip, salah satu tempat yang dipercaya digunakan untuk menguburkan puluhan pahlawan Trip yang gugur dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Kota Malang (Panjivocation)
Taman Makam Pahlawan Trip, salah satu tempat yang dipercaya digunakan untuk menguburkan puluhan pahlawan Trip yang gugur dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Kota Malang (Panjivocation)

MALANGTIMES - Pasca Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, rakyat di Kota Malang tak langsung turut merasakannya. Karena baru 20 Agustus 1945 pemerintah Jepang mengakhiri pemerintahannya di kota yang kini dikenal sebagai kota pendidikan itu.

Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Malang baru dibentuk pada 21 September 1945 pasca kehadiran utusan Pemerintah Republik Indonesia yang memberi penjelasan tentang Proklamasi Kemerdekaan. KNI daerah Malang saat itu beranggotakan beberapa tokoh pergerakan, antara lain Mr Soenarko, Poeger, dan Imam Soedja’i.

Baca Juga : Viral Video Warga Beri Semangat kepada Pasien Positif Covid-19

Pemerhati sejarah Malang, Raymond Valiant Ruritan menyampaikan, pasca Indonesia menyatakan kemerdekaannya, beberapa daerah memang tak langsung dapat menikmati kebebasan begitu saja. Termasuk Kota Malang.

Terjadi perundingan untuk pengalihan kekuasaan di Kota Malang antara Pemerintah bentukan Jepang yang berinduk ke Syutyokan Malang dengan KNI daerah Malang. Namun, tentara Jepang yang masih belum dievakuasi menolak menyerah sehingga nyaris terjadi konflik. 

"Pada 3 Oktober 1945 terjadi penyerahan senjata dari Jepang ke KNI Daerah Malang," katanya.

Setelah penyerahan senjata, orang Jepang yang saat itu ada di Rampal beserta tahanan Eropa di Lowokwaru dipindahkan. Mereka diangkut keluar dari Malang memakai kereta api.

Pada akhir 1945 dilakukan perbaikan kepemerintahan. KNI Daerah Malang melebur dalam pemerintah setempat. Mr Soenarko diangkat sebagai Wakil Residen Malang, M. Sardjono Wiryohardjono ditetapkan sebagai Wali Kota Malang, Mr Raspio sebagai Kepala Kemakmuran, Poeger sebagai Kepala Pendidikan dan Ponidjo sebagai Kepala RRI. 

"Pada 1 Juli 1946, Pemerintah Karesidenan Malang yang mencakup Kota dan Kabupaten Malang berdiri," imbuhnya.

Sementara pada 17 Agustus 1946, lanjutnya, diadakan upacara peletakan batu pertama dari tugu Malang yang ditempatkan di Jan Pieterzoon Coen Plein. Tugu Malang yang pertama ini berbentuk tiang dengan ujung berupa pelita api. 

Namun belum jadi sepenuhnya, tugu yang menjadi simbol kemerdekaan itu diledakkan Tentara Belanda pada 23 Desember 1948. Bekasnya dibongkar sehingga tak diketahui ke mana batuannya.

Peristiwa penting bagi Malang selama masa Perang Kemerdekaan adalah dua kali agresi Belanda. Agresi pertama pada 22 Juli 1947, di mana garis perang ditarik Angkatan Darat Belanda dan Marinir Belanda dari Sidoarjo ke arah Pandaan, lalu ke arah Malang, untuk mencetak kekuasaan Republik Indonesia di Jawa Timur dan mempersiapkan pembentukan Negara Jawa Timur.

Beberapa hari sebelumnya, lanjut Raymond, Jawatan Penerangan Republik Indonesia di Surabaya sudah menyerukan taktik bumi hangus. Sehingga dari Pandaan hingga Singosari, dari Ngantang sampai Pujon, dari Blitar sampai Jongbiru sudah banyak titik strategis dihancurkan yang sekiranya dapat dipakai Belanda sebagai titik menghimpun kekuatan.

"Mulai dari situlah terjadi banyak peristiwa, mulai dari kehilangan harta benda hingga pertumpahan darah dan melayangnya nyawa," imbuhnya.

Serangan ke Kota Malang memuncak pada 31 Juli 1947. Pukul 15:00 sore Angkatan Darat Belanda resmi menguasai Malang. Pertempuran terbesar di sisi Indonesia digalang oleh kelompok paramiliter dan milisia setempat. Salah satunya adalah Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) yang beranggotakan siswa-siswa dari berbagai sekolah di belakang maupun di depan garis demarkasi.

Baca Juga : Mokong Keluyuran Malam Hari, Warga Jalani Rapid Test Covid-19 di Tempat

"Minggu pertama Agustus 1947 adalah perang gerilya kota, dimana berbagai bangunan penting dibakar. Balai kota dibakar, bersama sekolah HBS dan AMS, juga Biara dan Sekolah Ursulin, serta gudang-gudang di sisi timur rel kereta api," jelasnya.

Dalam kondisi itu, menurutnya banyak korban jatuh, baik karena peperangan, dirampok, atau dibunuh. Kondisinya mirip kerusuhan sistematis dan diselingi tembak menembak sporadis. Kuburan massal dari korban ada di beberapa tempat. 

"Saya mendapat cerita bahwa salah satunya adalah di dekat Stasiun Malang Kota, tepat di lokasi yang kini menjadi patung raksasa tumbang (Monumen Juang 45; red)," jelasnya.

Sementara korban lain yang berperang di kawasan Jl. Salak atau kini dikenal sebagai Jl. Pahlawan Trip dikatakan dikubur secara massal di dua lubang yang berbeda. Salah satunya adalah di kawasan Jl. Pahlawan Trip itu sendiri.

Di kawasan tersebut saat ini kita dapat menemui sebuah makam yang dikenal sebagai Makam Pahlawan Trip. Makam dengan pagar hitam itu memang sering tertutup dan sering dibuka ketika hari-hari tertentu saja. Termasuk ketika peringatan hari Kemerdekaan Indonesia untuk mengenang jasa para pemuda yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Di makam tersebut, diperkirakan ada 35 nyawa pahlawan TRIP yang gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada Agresi Militer Belanda I di tahun 1947. Kemungkinan besar mereka dikubur dalam satu lubang yang sama.

Lebih jauh Raymond menjelaskan jika dalam masa genting itu, Pemerintah Kota Malang pindah ke Sumberpucung, kemudian pindah ke Gondanglegi, mundur masuk ke pedalaman di mana pasukan BKR, sisa laskar, kelompok milisia dan Brigade Mobil Polisi masih memegang bagian selatan Malang.

"Sedangkan kawasan pengungsian bagi rakyat Kota Malang, sejauh catatan saya mencakup rute Malang-Tumpang, Malang-Wajak, dan Malang-Turen," imbuhnya.

Sepanjang 1948, rakyat Kota Malang menurutnya mengalami berbagai penderitaan akibat pertempuran tiada henti antara Tentara Belanda dengan pasukan Tentara Republik Indonesia. Peristiwa Agresi Militer Belanda ke 2, pada 19 Desember 1948 di Yogyayakarta. Peristiwa tersebut meningkatkan intensitas perang gerilya di Kota Malang, yang meluas hingga Kendalpayak, Pujon, Buring dan Lawang.


Topik

Peristiwa Taman-Makam-Pahlawan-Trip Komite-Nasional-Indonesia hut-kemerdekaan-indonesia


Bagaimana Komentarmu ?


JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Pipit Anggraeni

Editor

Lazuardi Firdaus