MALANGTIMES - Sebagian dari kita berpendapat jika Ken Dedes selama ini bertelanjang dada. Namun faktanya, ratu Kerajaan Singosari itu selama ini mengenakan penutup sutra yang memang transparan sehingga payudara terlihat dan seperti tak tertutup.
Hal itu disampaikan sejarawan sekaligus akademisi Universitas Negeri Malang Abdul Latief Bustami. Menurut dia, permaisuri Raja Ken Arok tersebut pada dasarnya mengenakan kain penutup sutra untuk menutup bagian atas tubuhnya. "Sebenarnya mengenakan penutup dan bukannya tak mengenakan apa-apa," katanya kepada MalangTIMES saat ditemui di kediamannya belum lama ini.
Baca Juga : Didi Kempot Gelar Konser Amal dari Rumah, Hanya 3 Jam Donasi Capai Rp 5,3 Milliar
Sebagai bangsawan, Ken Dedes menjadi keluarga kerajaan yang memang mengenakan busana sedikit berbeda dengan kalangan masyarakat umumnya. Jika bagian atas ditutup dengan kain yang transparan, bagian bawah tubuhnya ditutup dengan kain panjang yang kini disebut sebagai sewek.
Keadaan tersebut dirasa berbeda dengan perempuan dari kalangan masyarakat umum dan golongan biasa yang besar kemungkinannya memang tak mengenakan penutup dada. Gambaran itu sebagaimana memang terpahat dalam beberapa relief candi peninggalan kerajaan Hindu-Buddha.
Meski begitu, Latief menegaskan jika bertelanjang dada pada masa itu adalah hal lumrah. Sebab, saat itu perempuan Indonesia belum mengenal penutup tubuh bagian atas. Bahkan dalam perjalanannya, perempuan bertelanjang dada masih ditemui pada masa kolonial Hindia Belanda.
Bukan hanya perempuan. Penutup tubuh bagi laki-laki di masa kerajaan juga diyakini masih sebatas menutup bagian bawah tubuh, utamanya bagian kemaluan saja. Hingga pada akhirnya, masuk ajaran Islam yang dibawa secara perseorangan oleh bangsa Arab sekitar abad 13 Masehi.
"Sejak saat itu, besar kemungkinan masyarakat Indonesia mulai mengenal penutup tubuh karena kaitannya adalah beribadah yang diwajibkan menutup aurat," urai Latief.
Baca Juga : SBY Persembahkan 'Cahaya Dalam Kegelapan', Lagu Bagi Para Pejuang Covid-19
Lebih lanjut, dia menyampaikan, pemakaian penutup tubuh dan perkembangan busana pada wanita maupun laki-laki di Indonesia bukan terbatas pada ajaran agama. Hal itu juga kental dengan kepercayaan dan tradisi yang dibawa oleh masing-masing pendahulunya.
"Itu berkaitan dengan konteks, mau dikenakan ataupun tidak, dikembalikan pada budaya mereka masing-masing," jelas tim ahli warisan budaya tak benda Indonesia Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia itu. (*)