MALANGTIMES - Khazanah tradisi dan budaya yang sampai saat ini terus dijaga di berbagai wilayah dan suku terkadang membuat kita terperangah. Misalnya, budaya kematian yang terbilang ekstrem di berbagai negara. Tak terkecuali di Indonesia.
Kematian bagi berbagai suku menjadi suatu misteri yang kerap melahirkan ekspresi. Berbagai ekspresi dalam menyambut kematian ini, bagi masyarakat modern mungkin terbilang ekstrem dan tidak pantas untuk terus dilestarikan. Misalnya memotong jari keluarga yang mati, mempersembahkan budak seks sebelum dibakar hidup-hidup, berselfi dengan mayat atau mendatangkan kembali roh ke dunia fana ini.
Baca Juga : SBY Persembahkan 'Cahaya Dalam Kegelapan', Lagu Bagi Para Pejuang Covid-19
Seperti apa saja budaya menyambut kematian dari berbagai suku yang sampai saat ini masih terus dilaksanakan, seperti di masyarakat Tengger? MalangTIMES, media online berjejaring terbesar di Indonesia, menyajikannya untuk Anda.
1. Budaya Iki Palek atau Potong Jari
Iki palek atau potong jari yang dilakukan Suku Dani, Papua, adalah salah satu budaya turun-temurun saat salah satu keluarganya meninggal dunia. Setiap kali ada kematian tersebut, keluarga khususnya para ibu atau wanita tertua akan memotong jarinya dengan kampak, pisau atau digigit sendiri.
Potong jari bagi Suku Dani, walaupun kini telah mulai hilang budaya tersebut, sebagai wujud kehilangan dan wujud kesetiaan kepada anggota keluarga yang meninggal. Kecintaan mereka inilah yang diekspresikan dengan memotong jarinya. Bagi mereka, keluarga adalah segala-galanya dan pokok dari kehidupan.
2. Budaya Viking, Persembahkan Budak Seks sebelum Dibakar Hidup-Hidup
Budaya kematian, khususnya bagi pemimpin Suku Viking, terbilang ekstrem. Sebelum dilakukan kremasi jasad sang pemimpin, ada ritual persembahan budak perempuan selama 10 hari sebelum kuburan kembali digali.
Selama 10 hari inilah, budak yang dipersembahkan akan melayani seks warga suku tersebut sebagai bentuk kecintaan kepada pimpinannya yang mati. Setelah 10 hari dan jasad sang pemimpin digali dari kuburnya untuk dikremasi, budak yang dipersembahkan ini juga ikut dibakar dalam kondisi masih hidup.
3. Budaya Entas-Entas Suku Tengger
Budaya luhur entas-entas Suku Tengger dalam memuliakan roh leluhur masih terjaga sampai saat ini. Entas-entas yang diartikan sebagai gambaran meninggikan derajat leluhur yang telah meninggal bahkan diakui otentitas, keunikan serta nilai filosofisnya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai warisan budaya dunia tak benda.
Budaya suku Tengger dalam memuliakan roh leluhurnya (Ist)
Dalam entas-entas Tengger, terdapat lima urutan yang harus dilakukan. Yaitu ngresik, mepek, mbeduduk, lukatan dan bawahan. Roh yang meninggal didatangkan kembali dengan bentuk boneka bernama Petra yang dibuat dari dedaunan dan bunga yang telah disucikan.
Wadah bambu yang telah diisi beras dan kain putih panjang yang nantinya akan dikembangkan bagi keluarga yang berkumpul merupakan medium dalam entas-entas. Sebelum boneka Petra, medium roh leluhur didatangkan dibakar.
Nilai filosofis budaya entas-entas adalah mengembalikan unsur-unsur penyusun tubuh manusia yang terdiri dari tanah, kayu, air dan panas.
4. Budaya Membalik Tulang
Baca Juga : Disebut Tak Sopan, Ustaz Abdul Somad Komentari Lirik Lagu Aisyah Istri Rasulullah
Kuburan di bongkar setiap lima tahun sekali. Lantas diadakanlah pesta besar bersama jasad yang diangkat dari kuburnya tersebut. Budaya ini dikenal dengan Famadihana atau membalik tulang yang dilaksanakan di Madagaskar. Ritual ini akan terus dilakukan sampai jasad benar-benar luruh, yang dipercaya arwahnya telah pergi.
5. Menyapu Makam di Toraja
Budaya menyapu makam yang dilaksanakan di masyarakat Toraja bukan sekadar membersihkan makamnya saja. Tapi, jasad di dalamnya juga dibersihkan. Dari pakaian sampai rambut orang mati dibersihkan.
Setelah jasad dibersihkan dan diberi bunga serta hiasan, kerabat atau keluarga setelah melakukan pesta kecil kembali menguburnya kembali.
6. Selfie Bersama Jasad
Berfoto bersama anggota keluarga yang telah meninggal pernah menjadi budaya di era Victoria Inggris. Walaupun mungkin, tidak sebanyak sekarang ini. Selfie bersama jasad di era Victoria lebih didominasi anak-anak dan balita dikarenakan banyaknya kematian terhadap mereka saat itu.
7. Peti Mati Tergantung dan Basuh Tubuh dengan Air Peti Mati
Sebagian masyarakat China mempercayai bahwa keluarga yang telah meninggal dunia, apabila peti matinya digantung tinggi, akan mendekatkan yang meninggalkan dekat angkasa atau surga. Karena itu, budaya penggantungan peti mati kerap dilakukan dengan lokasi tebing-tebing gunung yang diberi pasak untuk pengaitnya.
Beberapa budaya lainnya yang tidak kalah unik adalah budaya mengumpulkan air yang berada di peti mati. Air yang terkumpul tersebut dipercaya, apabila dibasuhkan ke seluruh tubuh, akan lebih mendekatkan diri mereka dengan yang telah meninggal dunia. (*)
Sumber : Diolah dari berbagai sumber