Lelaki yang Belajar Pada Wajah Sunyi (1)
Lelaki itu mulai belajar mencintai lewat sunyi.
Di jemarinya rincik alir sungai yang berderap dan mengelus bebatuan mengalir, menuju area surga tubuhmu.
Baca Juga : WORO & The Night Owls Gebrak Maret dengan Album Perdananya
Tubuh yang begitu dipuja dan seringkali dibekukan mata peristiwa. Tubuh yang diolesi zaitun dan beraroma perdu taman surga, sebelum kelahiran memecahkan tawa setan bertanduk satu, dulu.
Kau, pemilik tubuh yang diincar sepi jemari lelaki sunyi itu, tergeragap.
"Apakah sepi mampu menggeletarkan gairahku. Tapi ini benar-benar membuatku gentar,"desis di bibirmu yang saga merona.
Serupa buah apel pertama yang membuat setiap liur menetes membayangkan rasa manisnya.
Lelaki itu mulai belajar mencintai lewat sunyi.
Walau segala bunyi dan aksara adalah ibu, perempuan yang memberikan puting susunya agar kau hidup.
Lelaki itu bergeming dan menceraikan segala yang telah menumbuhkan masai yang kini jelma akar.
"Sejak seorang lelaki dengan sorban hitam mengajakku untuk belajar. Menatap kosong, menikmati nyeri yang dikirim alam. Telah kunikahi batang-batang sepi,".
Entah, mantra apa yang disadapnya di payudara sunyi. Setiap helanya telah membuat para tubuh kencana tersekap. Serupa asing yang begitu akrab. Serupa nyeri yang telah lama diingkari.
Serupa wajah cinta.
Tubuh apa yang mampu menolak sunyi lelaki yang mengebiri bunyi dan aksara. Rintih apa yang tepat di tuliskan puisi saat jemarinya menelusuri area surga tubuhmu, puan.
Tapi aku bukan ikarus.
Tubuh-tubuh pualam itu pun bukanlah matahari. Yang membakar sayap hasratku.
Tapi aku bukanlah Nero.
Si hasrat menguasai dan setelahnya sepi. Dan yang paling pasti aku bukanlah nabi.
Baca Juga : Film Dokumenter The Beatles 'Get Back' Rilis September 2020
Maka, sebut saja aku sepi. Relung hati yang tidak sekedar meminta bunyi dan aksara-aksara pasi.
Sepi yang belajar menjelma sunyi. Belajar menjadi sesuatu yang tidak api.
Yang Menulis Setelah Api Padam (2)
Dia penyaksi dengan mata dan aksara
Setelah api tak lagi segalak merah yang melahap peristiwa
Terkadang ia jenuh dengan warna arang yang disisakan, tapi tak keluh ia menuliskannya setelah segala mendekati hening.
Aksara merangkai peristiwa yang telah padam telah menguap bersama kala yang buta. Matanya menatap lekat mengakrabi segala hitam.
Mengais-ais reruntuhan dan berharap segala yang terbakar melahirkan mutiara.
Satu mutiara kata yang akan di tanamnya dalam gawai yang tak pernah diam berdetak.
Serupa resahnya serupa jenuhnya yang seperti ekstasi tak jadi.
Dia penyaksi yang diam
Hanya jemarinya yang serupa alir air yang terus mengalun.
Dia penyaksi yang lupa jadi penyaksi raganya sendiri yang mulai menua dan membutuhkan teduh yang tak rapuh.
Serupa peristiwa yang dibakar api.