dd nana*
Jangan kau telepon aku tengah malam. Karena dering telepon tengah malam adalah tanda duka. Seperti aksara dalam telegram. Singkat dan padat, tetapi mampu membuncahkan galau seketika. Dering telepon tengah malam adalah cemas yang pasti datang. Mengunjungi setiap yang lelap. Mengetuk jalan-jalan setapak para pejalan yang berusaha menghapus jejak pulang, yang belajar menjadi Malin Kundang. Mereka-reka gelombang, menjaring angin dan mematangkan rupa dalam seribu bahasa. Lantas dengan lantang meneriakkan kemenangan manusia atas kenangan. Eureka…eureka…!!!.
Dering telepon di tengah malam, seperti derit pintu rumah yang gegas. Keduanya adalah suara serupa yang menghadirkan cekam. Membuat dirimu terdiam sejenak dengan kepala yang tercerabut lepas, dan akar-akar kenangan menyeruak, berlendir coklat darah. Buahnya adalah sedu sedan yang tersekat ditenggorakan. Seperti bunyi ngorok sapi yang digorok. Tetapi, lupakanlah dering telepon tengah malam, karena pintu rumah lebih bertanda untukmu, bukan begitu?.
Baca Juga : KITAB INGATAN 90
Karena kau bukanlah pejalan yang memiliki ruang panjang dan lebar, saat pandang mata tak terhalang bentuk bangunan. Pintu rumah lebih mempesona dibandingkan dering telepon tengah malam bagimu. Bukankah itu jawaban terakhir dari mulutmu yang masih saja merah oleh resapan cahaya matahari, pada saat senja lindap di sepasang mata kelincimu. Dan, pertanyaanmu tentang pintu rumah masih saja sama seperti dulu, apa yang membuat pintu rumah begitu berbeda. Sebelum aku membuka mulutpun sebenarnya kau sangat mengetahui jawaban yang akan aku berikan padamu, karena inilah jawaban abadi yang akan kuberikan atas setiap pertanyaan itu.
“Karena pintu berderit dan menghasilkan bunyi yang sendu.” jawabku.
“Kenapa berderit ?”tanyamu lagi.
“Karena pintu mengawini engsel,”
“Lantas di mana letak keistimewaannya, bukankah telepon, genta, weker juga berdering, kenapa tidak memesona. Kenapa derit pintu membuatku lugrug.” Begitulah pertanyaan berdegung dari mulutmu, seperti kawanan lebah mencari nektar untuk disunting.
Kenapa bukan pertanyaan lain yang kau lahirkan Nyala ?
Nyala, aku memanggilnya. Perempuan satu-satunya yang menyebut namaku dengan khas sampai saat ini, Ara. Perempuan yang akan memberimu hujan tanya, saat jawab tentang daun pintu tak bisa membuat lesung di kedua pipinya tertampakkan. Membentuk segaris senyum yang sebenarnya kurindu dalam setiap persuaan. Pertemuan yang tak bisa dihitung dan dirumuskan dalam hitungan waktu. Persuaan yang selalu seperti kebetulan, meski aku meyakini tidak ada peristiwa yang dirakit oleh faktor kebetulan.
Bukankah semuanya telah terpola secara sempurna, meski dengan rupa peristiwa yang berbeda. Ah, Nyala kenapa tidak kau tanyakan hal lain, mungkin tentang seperti ini. “Setelah kau lama menghilang, entah kemana, apakah kau kini telah menetap disebuah rumah dengan seorang istri dan anak-anak yang manis” atau “Sudah berapakah anakmu kini, Ara ?” atau pertanyaan lain yang sangat kurindu, “Apakah kau rindu padaku Ara ?”.
Aku menatap matanya, dan diam. Mencoba untuk mengalihkan perhatian dari segala pertanyaan tentang pintu.
“Jawablah Ara, waktuku tinggal sepenggal. Matahari seusapan lagi berganti. Dan, usiaku hampir menyerupai senja, jawablah, saying. Aku tidak ingin meninggalkan dunia ini dengan pertanyaan yang abadi. Dan, jawaban dari pertanyaan ini, aku rasa adalah kunci dari segala keberadaanku kini.”kamu terus meminta.
“Mungkin, karena derit pintu adalah suara duka, seperti dering telepon tengah malam. Mungkin, daun pintu adalah kenangan yang diabaikan…” Jawaban yang sama selama 30 tahun. Seperti bahasa tubuhmu dalam mengucapkan, “aku senang bertemu dan berbicara denganmu, tetapi kurasakan bukan itu jawaban yang sesungguhnya…” mata kelincimu menatapku. Seperkian menit. Dan, kami akan kembali berjalan, seperti persuaan-persuaan lain, dengan punggung saling berlawanan, saat warna senja dipulas bayangan gelap malam.
Nyala menuju pintu rumah yang selalu terbuka, dan aku melangkah menjauhi segala pintu yang ada. Tidak ada ciuman ringan di dahi, jabat tangan apalagi pelukan erat untuk meringankan rindu yang memuih di tubuh. Karena aku bukan lagi engsel yang memberi suara di daun pintunya. Kini, aku hanya sekedar genta kecil didepan pintunya, yang berdering saat angin ingin bermain dengan suaraku.
Aku tahu, setiap persuaan, semakin membuatmu kecewa atas jawab yang tak pernah kau dapat. Tetapi itu lebih baik untukmu, Nyala. Lebih baik. Selalu suara yang tak terlahir itu yang berkecamuk dalam dadaku.
Dering telepon tengah malam merebut wajahmu yang bermain dalam anganku. Sederet nomor dan sebuah nama, lahir dari berhala kecil, menyita lamunanku.
Nyala…”
“Datanglah selekas yang kau bisa Ara. Ke kota kita !” Aku dengar nafasmu yang gegas. Begitu memburu.
“Ada apa ?”
“Peristiwa tak bisa dicairkan lewat telepon. Datanglah !!”
“Tetapi ini tengah malam Nyala, dan kota yang kini kusinggahi sangat berjarak dengan kota kita. Tidakkah…..”
Aku dengar derit pintu yang gegas, sebelum Nyala mengubur dering teleponnya. Ada denyut tak berpola yang menghentak dadaku. Menggigilkan sekujur tubuh. Resah mengintipku dari ujung entah dan menjejalkan cemas berdegup-degup. Ada duka yang sedang menunggu. Ada luka yang nyerinya harus dicucup selekasnya, sebelum barah menetap dan berbiak. Ada apakah di kota kita Nyala, sehingga kau harus menelpon di tengah malam.
Ara. Begitulah aku suka memanggilnya, entah sejak kapan dan mungkin tanpa alasan khusus. Lelaki bengal yang membuka kepalaku dengan pertanyaan atau mungkin pernyataan yang tak pernah kumengerti sampai kini. “Aku ingin menjadi rajawali. Memotret semesta tanpa rikuh dengan segala aturan yang ada.”, begitulah katanya suatu ketika.
Ara, lelaki bengal yang entah liat menetap dalam dada dan ingatanku. Serupa tanyanya. “Tahukah kau Nyala apa perbedaan dering telepon dengan derit pintu ?” katamu lagi. Aku hanya menggeleng dan memeluk tubuhnya. Membenamkan segala tanya yang entah diciptakan apa dan siapa. Sungguh, didekatnya aku tidak ingin mendengar segala bunyi kata. Terlalu banyak yang terpendam di dalam kata-kata, dan saat kata terlahir menjadi suara, mereka meminta tirai yang menyelubunginya untuk segera dibuka. Aku perempuan yang tidak suka mengotak-atik kata lewat bahasa. Berbeda dengannya yang begitu dahaga atas misteri kata-kata yang beranak suara. Semua yang menimbulkan suara; dari genta, weker, dering telepon, derit pintu dan lainnya, selalu menyita pikirannya. Pernah dalam seloroh, saat kita tergolek dengan keringat yang masih hangat di tubuh, aku melemparkan tanya.
“Mana yang lebih kau cinta, aku atau kata-kata yang melahirkan suara ?”
Ara hanya menatapku, dan memeluk tubuhku. Membenamkan pertanyaanku dalam uap hangat keringatnya. Aku kembali terhanyut. Hingga suatu ketika waktu menelannya dengan senyap yang meriuhkan hariku.
Konstelasi politik semakin memanas di republik ini. Partai-partai seperti amuba. Orang-orang turun kejalan dengan bendera dan spanduk warna-warni. Mengidentifikasikan dirinya dengan lambang-lambang dan warna. Beda lambang, beda warna adalah seteru yang harus di lawan, dengan cara apapun. Dan kau, lelaki yang kucinta, selalu melepaskan diri dari segala lambang dan warna yang ada. Katamu, “Nyala, istriku, segala lambang dan warna tidaklah abadi. Semua itu sekedar gejolak yang didominasi oleh emosi untuk kepentingan yang sesaat, kekuasaan. Suatu ketika, warna-warna itu akan hilang dan digantikan yang lain…”
Tetapi kecintaanmu terhadap aksara telah menyeretmu dalam praduga yang menjelma dakwa dari orang-orang yang kini memiliki kekuasaan. Setelah terjadi pembantaian besar-besaran di pulau Jawa, sekitar tahun 1960-an, kau pun tidak luput dari pengejaran mereka. Hingga suatu ketika…..
Pada pagi yang murung, pintu rumah kita berderit-derit. Aku terbangun, tidak mendapatkan dirimu di sisiku, seperti biasanya. Aku beranjak dari kamar tidur, daun pintu rumah kita terbuka. Masih berderit, dipermainkan angin yang menusuk. Kau, tidak ada di rumah. Hilang. Air mata tiba-tiba beranjak, menyusuri sepasang pipiku. Ah, apakah orang-orang itu telah membawamu ? setelah tadi malam mereka terus menerus meneror kita dengan dering telepon yang penuh ancaman. Apakah….?? aku terisak, kemudian meledaklah tangisanku. Tangisan terkeras yang aku tahu.
Dan, di depan pintu rumah kita yang terbuka dan selalu berderit itu aku selalu menunggumu. Sebelum semuanya menjadi sempurna gelap. Saat terbangun, entahlah berapa lama aku tertidur ataukah pingsan, aku merasa menjadi manusia asing. Asing terhadap segala yang ada dan bernama. Aku tidak bisa mengingat apapun, kecuali namamu. Hanya namamu. Dan, duniaku menjadi dunia yang sangat ajaib. Tiba-tiba, seorang suami yang baik dan tawa anak-anak yang memanggilku mama, menjadi bagian dalam hidupku. Tentunya juga sebuah rumah yang begitu hangat. Hingga suatu ketika….
“Nyala…?” sebuah suara yang sering datang dalam tidur resahku memanggil sebuah nama. Tepat di depanku, disebuah resto saat matahari seusapan lagi dibenamkan waktu kearah barat.
“Maaf…anda memanggil saya tuan ?”
“Bukankah anda bernama Nyala ? Istriku...”
“Maafkan tuan…mungkin tuan salah orang. Saya memang sering dipanggil Nyala, tetapi saya yakin bukan orang yang tuan maksud. Oya…permisi Tuan…”
“Tunggu Nyala…ehhh…Nyonya. Sebentar saja. Oh, maafkan saya kalau ternyata saya keliru orang. Nyonya sangat mirip dengan istri saya dulu, dengan nama yang juga sama, Nyala. Kami terpisahkan cukup lama. Sekali lagi maafkan saya.” Aku melihat raut kecewa dari lelaki itu, matanya yang tajam tiba-tiba merapuh. Ada duka yang begitu lama dalam mata itu, menarik tubuhku untuk kembali duduk. Kini, lelaki itu satu meja denganku.
“Ah…sekali lagi maafkan saya nyonya. Kerinduan telah membutakan mata saya. Tetapi….” Bibir itu tersenyum. Tulus.
“Hampir 30 tahun kami terpisahkan. Politik sebabnya. Saya terbawa arus besar, hanyut hingga Eropa dan menetap disana, karena tidak bisa pulang. Dan, Nyala, istri saya tetap di negeri ini. Suatu ketika, saat terjadi peralihan kekuasaan, saya akhirnya bisa berkunjung ke negeri ini tanpa sembunyi-sembunyi dan cemas ditangkap di bandara oleh petugas. Pertama kali yang saya cari ketika menginjak negeri ini lagi adalah alamat rumah kami. Tetapi…..semua telah berubah. Rumah kami sudah tidak ada, berubah menjadi plaza. Saya terus mencarinya, bertanya kepada orang-orang yang seusia dengan saya dulu yang masih hidup di sini. Saya yakin, istri saya masih hidup. Masih hidup….Tetapi saya semakin tersesat dalam pencarian ini. Saya tahu pencarian ini tidak akan menghasilkan apa yang saya kehendaki… Ah, maafkan saya yang telah menyita waktu nyonya.”
“Tidak tuan…saya tidak merasa terganggu dengan cerita tuan. Kebetulan, kami, saya dan suami memiliki suatu yayasan yang dikhususkan untuk membantu mempertemukan kembali orang-orang yang tercerai berai oleh kondisi politik zaman dulu. Ini kartu nama saya. Kalau tuan berminat singgah, datanglah ke rumah kami. Oya, kalau boleh saya tahu nama tuan…”
“Panggil saya Ara….”
“Ara ?”
Tinggal beberapa jam lagi, aku sampai ke negeri Nyala. Kenangan, ternyata memiliki daya lesat begitu cepat dibandingkan segala teknologi yang ada. Ya, sejak kembali bertemu dengannya di sebuah resto dan dilanjutkan dengan perbincangan panjang di rumah yang difungsikan sebagai sebuah kantor, aku tahu dia adalah Nyala, perempuan yang kucintai, istriku. Perempuan yang tidak sempat aku cium keningnya dan berpamitan, saat beberapa kawan yang juga dituduh sebagai bagian dari organisasi terlarang itu, mengajakku selekasnya untuk meninggalkan negeri ini.
Sungguh, betapa aku harus terisak dalam dan mencoba menyembunyikan air mata, saat aku tahu Nyala tidak mengenalku lagi. Tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan segala peristiwa yang lalu. Aku terisak dengan senyum yang mengambang, “haruskah aku gembira atau sedih dengan kenyataan ini ?” Ya, haruskah aku bergembira melihat perempuan yang dicintai tidak lagi memiliki kenangan apapun tentang kita. Tetapi, haruskah aku bersedih kini, melihat Nyala bersinar, begitu hidup dalam dekap kehangatan keluarga barunya, suami yang baik dan anak-anak yang lucu, tanpa harus dihantui mimpi-mimpi paling buruk bagi seorang perempuan.
“Saat aku temukan Nyala, kondisi psikis dan fisiknya membuat siapapun yang masih punya nurani akan menangis. Nyala, seperti mayat hidup. Saat itulah, saya membawanya, merawatnya. Akhirnya dengan berbagai bantuan medis dan psikiater secara kontinue, Nyala mampu kembali dilahirkan. Menjadi manusia baru. Kami menikah atas kenyataan bahwa Nyala tidak bisa dibiarkan sendiri dalam menghadapi kehidupan yang semakin tidak karuan ini, terutama karena saya memang memiliki empati yang dalam atas apa yang menimpanya.”suara lelaki ramah itu terasa ringan dalam otakku.
“Apakah...Nyonya Nyala tidak bisa mengingat apapun mengenai masa lalunya ?”ucapku
“Salah satu metode untuk melupakan trauma yang begitu hebat adalah dengan menceburkan diri secara perlahan-lahan dalam ruang yang menyebabkan trauma itu ada. Yayasan Temali Kasih ini adalah salah satu bentuknya….Tidak tuan Ara, trauma yang dialami manusia tidak akan bisa hilang secara 100%. Dia sesekali datang, di tempat dan waktu yang tidak bisa diduga. Disinilah peranan orang-orang terdekat sangat dominan untuk menjaganya….”
“Jadi…..?”
“Nyala masih mengingat keping-keping masa lalunya….Tuan tahu kenapa Nyala begitu menyukai pintu yang terbuka dan bersuara ? Itu adalah salah satu keping masa lalunya. Dan…keping yang begitu kuat dalam memorinya sampai saat ini adalah sebuah nama….yaitu anda Tuan Ara...”ujar lelaki bersuara ramah itu. Sungguh, aku mendengar derit lain serupa nyeri yang dibungkus begitu rapi.
“Maksud tuan….? Tuan sudah tahu bahwa saya adalah…”
“Ya. Maka maafkan saya yang telah mengambil istri anda. Kondisilah yang telah menciptakan itu semua.” Aku menunduk dalam, entah amarah atau nyeri yang melegakan yang hiruk di kepala dan dada ini.
Aku menghirup nafas panjang, sangat panjang. Sesampainya aku di negeri Nyala. Entahlah, ada sesuatu yang begitu menyesakkan. Ada suatu peristiwa yang akan membuatku terhenyak, disini. Dan, aku sangat takut atas pikiranku sendiri.
“Ara…..!!!” Kepalaku menoleh mencari sumber suara. Suara yang sangat kuhafal, Nyala. Aku menghampirinya, ataukah dia yang menghampiriku dalam lari kecil yang gegas.
“Nyonya Nyala…bagaimana kab…. ?” Pertanyaanku tak usai. Nyala menubrukku. Memeluk begitu erat dengan isak yang mulai kudengar disamping telingaku.
“…Ara…ara…kenapa kau tinggalkan daun pintu rumah kita terbuka ? kenapa kau tinggalkan aku tanpa kecup mesra di kening. Tanpa sebaris kata yang sering kau ucapkan saat akan pergi meninggalkan rumah ….? Kenapa…..!!”
Tangis itu akhirnya membuncah. Menggetarkan tubuhku.
Dering telepon tengah malam adalah tanda duka. Tetapi, apakah kini aku berduka atas kemenangan kenangan Nyala ?
dd nana*
Jangan kau telepon aku tengah malam. Karena dering telepon tengah malam adalah tanda duka. Seperti aksara dalam telegram. Singkat dan padat, tetapi mampu membuncahkan galau seketika. Dering telepon tengah malam adalah cemas yang pasti datang. Mengunjungi setiap yang lelap. Mengetuk jalan-jalan setapak para pejalan yang berusaha menghapus jejak pulang, yang belajar menjadi Malin Kundang. Mereka-reka gelombang, menjaring angin dan mematangkan rupa dalam seribu bahasa. Lantas dengan lantang meneriakkan kemenangan manusia atas kenangan. Eureka…eureka…!!!.
Dering telepon di tengah malam, seperti derit pintu rumah yang gegas. Keduanya adalah suara serupa yang menghadirkan cekam. Membuat dirimu terdiam sejenak dengan kepala yang tercerabut lepas, dan akar-akar kenangan menyeruak, berlendir coklat darah. Buahnya adalah sedu sedan yang tersekat ditenggorakan. Seperti bunyi ngorok sapi yang digorok. Tetapi, lupakanlah dering telepon tengah malam, karena pintu rumah lebih bertanda untukmu, bukan begitu?.
Baca Juga : KITAB INGATAN 76
Karena kau bukanlah pejalan yang memiliki ruang panjang dan lebar, saat pandang mata tak terhalang bentuk bangunan. Pintu rumah lebih mempesona dibandingkan dering telepon tengah malam bagimu. Bukankah itu jawaban terakhir dari mulutmu yang masih saja merah oleh resapan cahaya matahari, pada saat senja lindap di sepasang mata kelincimu. Dan, pertanyaanmu tentang pintu rumah masih saja sama seperti dulu, apa yang membuat pintu rumah begitu berbeda. Sebelum aku membuka mulutpun sebenarnya kau sangat mengetahui jawaban yang akan aku berikan padamu, karena inilah jawaban abadi yang akan kuberikan atas setiap pertanyaan itu.
“Karena pintu berderit dan menghasilkan bunyi yang sendu.” jawabku.
“Kenapa berderit ?”tanyamu lagi.
“Karena pintu mengawini engsel,”
“Lantas di mana letak keistimewaannya, bukankah telepon, genta, weker juga berdering, kenapa tidak memesona. Kenapa derit pintu membuatku lugrug.” Begitulah pertanyaan berdegung dari mulutmu, seperti kawanan lebah mencari nektar untuk disunting.
Kenapa bukan pertanyaan lain yang kau lahirkan Nyala ?
Nyala, aku memanggilnya. Perempuan satu-satunya yang menyebut namaku dengan khas sampai saat ini, Ara. Perempuan yang akan memberimu hujan tanya, saat jawab tentang daun pintu tak bisa membuat lesung di kedua pipinya tertampakkan. Membentuk segaris senyum yang sebenarnya kurindu dalam setiap persuaan. Pertemuan yang tak bisa dihitung dan dirumuskan dalam hitungan waktu. Persuaan yang selalu seperti kebetulan, meski aku meyakini tidak ada peristiwa yang dirakit oleh faktor kebetulan.
Bukankah semuanya telah terpola secara sempurna, meski dengan rupa peristiwa yang berbeda. Ah, Nyala kenapa tidak kau tanyakan hal lain, mungkin tentang seperti ini. “Setelah kau lama menghilang, entah kemana, apakah kau kini telah menetap disebuah rumah dengan seorang istri dan anak-anak yang manis” atau “Sudah berapakah anakmu kini, Ara ?” atau pertanyaan lain yang sangat kurindu, “Apakah kau rindu padaku Ara ?”.
Aku menatap matanya, dan diam. Mencoba untuk mengalihkan perhatian dari segala pertanyaan tentang pintu.
“Jawablah Ara, waktuku tinggal sepenggal. Matahari seusapan lagi berganti. Dan, usiaku hampir menyerupai senja, jawablah, saying. Aku tidak ingin meninggalkan dunia ini dengan pertanyaan yang abadi. Dan, jawaban dari pertanyaan ini, aku rasa adalah kunci dari segala keberadaanku kini.”kamu terus meminta.
“Mungkin, karena derit pintu adalah suara duka, seperti dering telepon tengah malam. Mungkin, daun pintu adalah kenangan yang diabaikan…” Jawaban yang sama selama 30 tahun. Seperti bahasa tubuhmu dalam mengucapkan, “aku senang bertemu dan berbicara denganmu, tetapi kurasakan bukan itu jawaban yang sesungguhnya…” mata kelincimu menatapku. Seperkian menit. Dan, kami akan kembali berjalan, seperti persuaan-persuaan lain, dengan punggung saling berlawanan, saat warna senja dipulas bayangan gelap malam.
Nyala menuju pintu rumah yang selalu terbuka, dan aku melangkah menjauhi segala pintu yang ada. Tidak ada ciuman ringan di dahi, jabat tangan apalagi pelukan erat untuk meringankan rindu yang memuih di tubuh. Karena aku bukan lagi engsel yang memberi suara di daun pintunya. Kini, aku hanya sekedar genta kecil didepan pintunya, yang berdering saat angin ingin bermain dengan suaraku.
Aku tahu, setiap persuaan, semakin membuatmu kecewa atas jawab yang tak pernah kau dapat. Tetapi itu lebih baik untukmu, Nyala. Lebih baik. Selalu suara yang tak terlahir itu yang berkecamuk dalam dadaku.
Dering telepon tengah malam merebut wajahmu yang bermain dalam anganku. Sederet nomor dan sebuah nama, lahir dari berhala kecil, menyita lamunanku.
Nyala…”
“Datanglah selekas yang kau bisa Ara. Ke kota kita !” Aku dengar nafasmu yang gegas. Begitu memburu.
“Ada apa ?”
“Peristiwa tak bisa dicairkan lewat telepon. Datanglah !!”
“Tetapi ini tengah malam Nyala, dan kota yang kini kusinggahi sangat berjarak dengan kota kita. Tidakkah…..”
Aku dengar derit pintu yang gegas, sebelum Nyala mengubur dering teleponnya. Ada denyut tak berpola yang menghentak dadaku. Menggigilkan sekujur tubuh. Resah mengintipku dari ujung entah dan menjejalkan cemas berdegup-degup. Ada duka yang sedang menunggu. Ada luka yang nyerinya harus dicucup selekasnya, sebelum barah menetap dan berbiak. Ada apakah di kota kita Nyala, sehingga kau harus menelpon di tengah malam.
Ara. Begitulah aku suka memanggilnya, entah sejak kapan dan mungkin tanpa alasan khusus. Lelaki bengal yang membuka kepalaku dengan pertanyaan atau mungkin pernyataan yang tak pernah kumengerti sampai kini. “Aku ingin menjadi rajawali. Memotret semesta tanpa rikuh dengan segala aturan yang ada.”, begitulah katanya suatu ketika.
Ara, lelaki bengal yang entah liat menetap dalam dada dan ingatanku. Serupa tanyanya. “Tahukah kau Nyala apa perbedaan dering telepon dengan derit pintu ?” katamu lagi. Aku hanya menggeleng dan memeluk tubuhnya. Membenamkan segala tanya yang entah diciptakan apa dan siapa. Sungguh, didekatnya aku tidak ingin mendengar segala bunyi kata. Terlalu banyak yang terpendam di dalam kata-kata, dan saat kata terlahir menjadi suara, mereka meminta tirai yang menyelubunginya untuk segera dibuka. Aku perempuan yang tidak suka mengotak-atik kata lewat bahasa. Berbeda dengannya yang begitu dahaga atas misteri kata-kata yang beranak suara. Semua yang menimbulkan suara; dari genta, weker, dering telepon, derit pintu dan lainnya, selalu menyita pikirannya. Pernah dalam seloroh, saat kita tergolek dengan keringat yang masih hangat di tubuh, aku melemparkan tanya.
“Mana yang lebih kau cinta, aku atau kata-kata yang melahirkan suara ?”
Ara hanya menatapku, dan memeluk tubuhku. Membenamkan pertanyaanku dalam uap hangat keringatnya. Aku kembali terhanyut. Hingga suatu ketika waktu menelannya dengan senyap yang meriuhkan hariku.
Konstelasi politik semakin memanas di republik ini. Partai-partai seperti amuba. Orang-orang turun kejalan dengan bendera dan spanduk warna-warni. Mengidentifikasikan dirinya dengan lambang-lambang dan warna. Beda lambang, beda warna adalah seteru yang harus di lawan, dengan cara apapun. Dan kau, lelaki yang kucinta, selalu melepaskan diri dari segala lambang dan warna yang ada. Katamu, “Nyala, istriku, segala lambang dan warna tidaklah abadi. Semua itu sekedar gejolak yang didominasi oleh emosi untuk kepentingan yang sesaat, kekuasaan. Suatu ketika, warna-warna itu akan hilang dan digantikan yang lain…”
Tetapi kecintaanmu terhadap aksara telah menyeretmu dalam praduga yang menjelma dakwa dari orang-orang yang kini memiliki kekuasaan. Setelah terjadi pembantaian besar-besaran di pulau Jawa, sekitar tahun 1960-an, kau pun tidak luput dari pengejaran mereka. Hingga suatu ketika…..
Pada pagi yang murung, pintu rumah kita berderit-derit. Aku terbangun, tidak mendapatkan dirimu di sisiku, seperti biasanya. Aku beranjak dari kamar tidur, daun pintu rumah kita terbuka. Masih berderit, dipermainkan angin yang menusuk. Kau, tidak ada di rumah. Hilang. Air mata tiba-tiba beranjak, menyusuri sepasang pipiku. Ah, apakah orang-orang itu telah membawamu ? setelah tadi malam mereka terus menerus meneror kita dengan dering telepon yang penuh ancaman. Apakah….?? aku terisak, kemudian meledaklah tangisanku. Tangisan terkeras yang aku tahu.
Dan, di depan pintu rumah kita yang terbuka dan selalu berderit itu aku selalu menunggumu. Sebelum semuanya menjadi sempurna gelap. Saat terbangun, entahlah berapa lama aku tertidur ataukah pingsan, aku merasa menjadi manusia asing. Asing terhadap segala yang ada dan bernama. Aku tidak bisa mengingat apapun, kecuali namamu. Hanya namamu. Dan, duniaku menjadi dunia yang sangat ajaib. Tiba-tiba, seorang suami yang baik dan tawa anak-anak yang memanggilku mama, menjadi bagian dalam hidupku. Tentunya juga sebuah rumah yang begitu hangat. Hingga suatu ketika….
“Nyala…?” sebuah suara yang sering datang dalam tidur resahku memanggil sebuah nama. Tepat di depanku, disebuah resto saat matahari seusapan lagi dibenamkan waktu kearah barat.
“Maaf…anda memanggil saya tuan ?”
“Bukankah anda bernama Nyala ? Istriku...”
“Maafkan tuan…mungkin tuan salah orang. Saya memang sering dipanggil Nyala, tetapi saya yakin bukan orang yang tuan maksud. Oya…permisi Tuan…”
“Tunggu Nyala…ehhh…Nyonya. Sebentar saja. Oh, maafkan saya kalau ternyata saya keliru orang. Nyonya sangat mirip dengan istri saya dulu, dengan nama yang juga sama, Nyala. Kami terpisahkan cukup lama. Sekali lagi maafkan saya.” Aku melihat raut kecewa dari lelaki itu, matanya yang tajam tiba-tiba merapuh. Ada duka yang begitu lama dalam mata itu, menarik tubuhku untuk kembali duduk. Kini, lelaki itu satu meja denganku.
“Ah…sekali lagi maafkan saya nyonya. Kerinduan telah membutakan mata saya. Tetapi….” Bibir itu tersenyum. Tulus.
“Hampir 30 tahun kami terpisahkan. Politik sebabnya. Saya terbawa arus besar, hanyut hingga Eropa dan menetap disana, karena tidak bisa pulang. Dan, Nyala, istri saya tetap di negeri ini. Suatu ketika, saat terjadi peralihan kekuasaan, saya akhirnya bisa berkunjung ke negeri ini tanpa sembunyi-sembunyi dan cemas ditangkap di bandara oleh petugas. Pertama kali yang saya cari ketika menginjak negeri ini lagi adalah alamat rumah kami. Tetapi…..semua telah berubah. Rumah kami sudah tidak ada, berubah menjadi plaza. Saya terus mencarinya, bertanya kepada orang-orang yang seusia dengan saya dulu yang masih hidup di sini. Saya yakin, istri saya masih hidup. Masih hidup….Tetapi saya semakin tersesat dalam pencarian ini. Saya tahu pencarian ini tidak akan menghasilkan apa yang saya kehendaki… Ah, maafkan saya yang telah menyita waktu nyonya.”
“Tidak tuan…saya tidak merasa terganggu dengan cerita tuan. Kebetulan, kami, saya dan suami memiliki suatu yayasan yang dikhususkan untuk membantu mempertemukan kembali orang-orang yang tercerai berai oleh kondisi politik zaman dulu. Ini kartu nama saya. Kalau tuan berminat singgah, datanglah ke rumah kami. Oya, kalau boleh saya tahu nama tuan…”
“Panggil saya Ara….”
“Ara ?”
Tinggal beberapa jam lagi, aku sampai ke negeri Nyala. Kenangan, ternyata memiliki daya lesat begitu cepat dibandingkan segala teknologi yang ada. Ya, sejak kembali bertemu dengannya di sebuah resto dan dilanjutkan dengan perbincangan panjang di rumah yang difungsikan sebagai sebuah kantor, aku tahu dia adalah Nyala, perempuan yang kucintai, istriku. Perempuan yang tidak sempat aku cium keningnya dan berpamitan, saat beberapa kawan yang juga dituduh sebagai bagian dari organisasi terlarang itu, mengajakku selekasnya untuk meninggalkan negeri ini.
Sungguh, betapa aku harus terisak dalam dan mencoba menyembunyikan air mata, saat aku tahu Nyala tidak mengenalku lagi. Tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan segala peristiwa yang lalu. Aku terisak dengan senyum yang mengambang, “haruskah aku gembira atau sedih dengan kenyataan ini ?” Ya, haruskah aku bergembira melihat perempuan yang dicintai tidak lagi memiliki kenangan apapun tentang kita. Tetapi, haruskah aku bersedih kini, melihat Nyala bersinar, begitu hidup dalam dekap kehangatan keluarga barunya, suami yang baik dan anak-anak yang lucu, tanpa harus dihantui mimpi-mimpi paling buruk bagi seorang perempuan.
“Saat aku temukan Nyala, kondisi psikis dan fisiknya membuat siapapun yang masih punya nurani akan menangis. Nyala, seperti mayat hidup. Saat itulah, saya membawanya, merawatnya. Akhirnya dengan berbagai bantuan medis dan psikiater secara kontinue, Nyala mampu kembali dilahirkan. Menjadi manusia baru. Kami menikah atas kenyataan bahwa Nyala tidak bisa dibiarkan sendiri dalam menghadapi kehidupan yang semakin tidak karuan ini, terutama karena saya memang memiliki empati yang dalam atas apa yang menimpanya.”suara lelaki ramah itu terasa ringan dalam otakku.
“Apakah...Nyonya Nyala tidak bisa mengingat apapun mengenai masa lalunya ?”ucapku
“Salah satu metode untuk melupakan trauma yang begitu hebat adalah dengan menceburkan diri secara perlahan-lahan dalam ruang yang menyebabkan trauma itu ada. Yayasan Temali Kasih ini adalah salah satu bentuknya….Tidak tuan Ara, trauma yang dialami manusia tidak akan bisa hilang secara 100%. Dia sesekali datang, di tempat dan waktu yang tidak bisa diduga. Disinilah peranan orang-orang terdekat sangat dominan untuk menjaganya….”
“Jadi…..?”
“Nyala masih mengingat keping-keping masa lalunya….Tuan tahu kenapa Nyala begitu menyukai pintu yang terbuka dan bersuara ? Itu adalah salah satu keping masa lalunya. Dan…keping yang begitu kuat dalam memorinya sampai saat ini adalah sebuah nama….yaitu anda Tuan Ara...”ujar lelaki bersuara ramah itu. Sungguh, aku mendengar derit lain serupa nyeri yang dibungkus begitu rapi.
“Maksud tuan….? Tuan sudah tahu bahwa saya adalah…”
“Ya. Maka maafkan saya yang telah mengambil istri anda. Kondisilah yang telah menciptakan itu semua.” Aku menunduk dalam, entah amarah atau nyeri yang melegakan yang hiruk di kepala dan dada ini.
Aku menghirup nafas panjang, sangat panjang. Sesampainya aku di negeri Nyala. Entahlah, ada sesuatu yang begitu menyesakkan. Ada suatu peristiwa yang akan membuatku terhenyak, disini. Dan, aku sangat takut atas pikiranku sendiri.
“Ara…..!!!” Kepalaku menoleh mencari sumber suara. Suara yang sangat kuhafal, Nyala. Aku menghampirinya, ataukah dia yang menghampiriku dalam lari kecil yang gegas.
“Nyonya Nyala…bagaimana kab…. ?” Pertanyaanku tak usai. Nyala menubrukku. Memeluk begitu erat dengan isak yang mulai kudengar disamping telingaku.
“…Ara…ara…kenapa kau tinggalkan daun pintu rumah kita terbuka ? kenapa kau tinggalkan aku tanpa kecup mesra di kening. Tanpa sebaris kata yang sering kau ucapkan saat akan pergi meninggalkan rumah ….? Kenapa…..!!”
Tangis itu akhirnya membuncah. Menggetarkan tubuhku.
Dering telepon tengah malam adalah tanda duka. Tetapi, apakah kini aku berduka atas kemenangan kenangan Nyala ?