KITAB INGATAN 10
-Sepenggal tentang Kaia
Tiuplah, Kaia
dalam gelembung Desember, nadi-nadi membesar
meranggas keras, merapat begitu padas.
Baca Juga : KITAB INGATAN 101
‘Hanya rindu yang seringkali menahannya. seperti ranting yang menguatkan dedaunan.
seperti matamu yang sering mengeringkan luka demam’.
Tiuplah, Kaia, dengan ranum bibir merah jambumu itu
karena segala yang tumbuh, akhirnya harus luruh.
Mungkin hanya rindu yang tak mau tunduk, tak jera aduh
tak luruh-luruh.
‘Semenjak kau mengenal sepi dan tak ada mainan lagi. Kau mulai bermain-main dengan desis. Dengan bisik yang begitu sempurna. Hingga mata angin terbutakan. Hingga tubuh saling meminta ranjang.’
Mainkan gelembung itu, Kaia. Lewat lubang kecil yang membuat dia belajar mendesis.
Lewat payudara yang membuat dia terpana.
Lewat bibirmu yang menyimpan merah lidah yang pintar mengeja.
‘Mungkin, rindu dicipta dari rahim sepi. Dilahirkan dari kelainan kita. Dari jarak dari ingatan yang diberaikan’.
Tiup dan pecahkan, Kaia.
sejarah seringkali tidak searah dengan ingin kita.
Jejak-jejak hujan yang dikeringkan riuh cerita.
Mari, Kaia, kita bergandeng-tangan saja. Mencipta hal-hal kecil dalam tubuh kita.
Nadi yang membesar, liang yang melebar, merah lebam cabikan bibir di dada punggung kita.
Serupa bibir yang tak sempurna.
‘Itu mas-kawin kita. kulengkapi dengan gelembung purba. rindu.’
Tiuplah, Kaia, karena ini desember
waktu syahwat meminta pulang.
Lihatlah di teras rumah, pohon yang kita tanam semakin rindang
begitu matang untuk dijadikan ranjang.
‘Tak perlu ikrar ulang kan sayang?’
KITAB INGATAN 11
-Trawas
Ini tentang kabut yang menyaput
Segala yang terbuka dan bertelanjang dada.
Disini, cahaya serupa warna putih semata.
‘padahal kau tahu cahaya bisa serupa hitam. Gelap yang menawan.’
Desember. Perseteruan segala yang berkembang dan menyusut.
Baca Juga : KITAB INGATAN 100
Selalu ada yang tumbuh, menyemut. Selalu ada maut yang beringsut.
Menunggu dengan kesabaran gerimis. Seperti teluh atau mantera-mantera
Dari bibir perempuan yang merasa teraniaya.
‘ah, perempuan terkadang seperti kabut juga. Memutihkan tulang, mendebarkan darah.’
Ingatkah, sapaan angin awal desember ini
Mengelus tengkuk mengibarkan gerai helai rambutmu.
Ada aroma gerimis, bunga jeruk, dan sedikit lembab tanah dihuni hujan tadi.
Ah, perempuan ijinkan bibirku berlabuh mengaduh
Dibibir dan tubuh terbukamu itu.
‘ternyata pada angin aku belajar datang dan pergi. Belajar menitipkan jejak tanpa luka.’
Ini tentang kabut yang menyaput
Mata kita sedetik terkatup sebelum semua kembali terbuka
Telanjang.
‘kita butuh meresapkan nikmat. Dengan pejam meski sekejap, sayang.’