Raden Mas Rahmat dan Detik-detik Wafatnya Amangkurat I: Terbalasnya Dendam Pangeran Pekik
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
09 - Dec - 2025, 04:34
JATIMTIMES - Dalam musim kemarau panjang tahun 1677, tanah Mataram terguncang bukan hanya oleh deru perang dan perebutan kota, tetapi juga oleh sengketa kuasa yang bergolak di jantung kekuasaan itu sendiri, yaitu keraton.
Di tengah irama waktu yang diselingi dendam dan kematian itulah seorang putra mahkota, Raden Mas Rahmat atau Pangeran Adipati Anom, muncul sebagai aktor utama dalam lakon yang kelak mengguncang sejarah Mataram. Ia bukan sekadar anak raja yang sedang sekarat, Sunan Amangkurat I, melainkan calon pewaris takhta yang darahnya telah dibubuhi kutukan politik, pengkhianatan, dan darah bangsawan yang ditumpahkan oleh tangan ayahnya sendiri.
Baca Juga : Minum Jahe Sebelum Tidur, Efeknya Bikin Kaget! Ternyata Manfaatnya Sebanyak Ini
Amangkurat I: Raja Absolut yang Runtuh
Sunan Amangkurat I memerintah Mataram sejak 1646 dengan tangan besi. Ia memangkas kekuasaan para pangeran, menggantung ribuan ulama pesantren di wilayah Plered dan sekitarnya, dan mengonsolidasikan kekuasaan dengan mengandalkan jaringan keluarga serta aliansi VOC. Tetapi pada dekade 1670-an, kekuasaannya merapuh, terutama akibat pemberontakan besar yang dimulai oleh Trunajaya (1674) dan konspirasi politik yang melibatkan anak kandungnya sendiri.
Setelah pemberontak Madura bersama pasukan Makassar menyerbu istana Plered pada pertengahan 1677, Amangkurat I melarikan diri ke arah barat. Bersama segelintir pengikut dan sisa hartanya, ia mundur dari pusat kerajaan tanpa arah yang pasti, suatu pengunduran yang bersifat simbolik bagi runtuhnya kekuasaan. Catatan Residen VOC Pieter van Goens menggambarkan pelarian raja ini sebagai “pelarian dalam kehinaan”.

Raden Mas Rahmat: Putra Mahkota yang Mengeram Dendam
Dalam bayang-bayang kekuasaan Amangkurat I, Raden Mas Rahmat tumbuh sebagai figur ambigu. Ia adalah anak raja, tetapi juga korban kebengisan ayahnya. Pamannya, Pangeran Alit, dibunuh oleh Amangkurat I pada 1648 dalam sebuah pembersihan politik berdarah. Ibu-ibunya dicampakkan, kakek dan saudara-saudaranya dilenyapkan. Ketika dewasa, Rahmat dikenal sebagai pemuda pendiam, penuh perhitungan, dan terasing secara emosional dari ayahnya sendiri.
Dalam laporan VOC dan kronik babad, muncul narasi bahwa Rahmat telah menjalin komunikasi dengan Trunajaya sejak sebelum pemberontakan pecah. Keterlibatan langsungnya tidak pernah terang benderang, tetapi indikasi bahwa ia membiarkan serangan ke Plered tanpa perlawanan berarti telah lama menjadi tanda tanya besar. Dalam hal ini, penulis menyebut Raden Mas Rahmat sebagai “raja dalam bayangan” yang tengah menanti saat tepat untuk merebut mahkota.

Raden Mas Rahmat, putra sulung Amangkurat I dan Kanjeng Ratu Pangayun, terlahir dari penyatuan dua garis darah kerajaan yang tidak hanya berpengaruh secara politis, tetapi juga sarat legitimasi spiritual. Ibunya, Ratu Pangayun, adalah putri Pangeran Pekik, Adipati Surabaya dan ulama terkemuka keturunan langsung Sunan Ampel, dengan Ratu Pandansari, adik kandung Sultan Agung. Dengan darah Walisongo yang mengalir deras, kelahiran Raden Mas Rahmat dipandang sebagai simbol rekonsiliasi kekuasaan antara pusat agraris Mataram dan kekuatan pesisir Islam di Jawa Timur.
Namun, takdir mematahkan fondasi awalnya. Ratu Pangayun wafat 40 hari setelah melahirkan dan dimakamkan di kompleks makam kerajaan Mataram di Giriloyo, meninggalkan Rahmat kecil tanpa perlindungan figur perempuan di tengah istana yang keras dan penuh kecurigaan. Dalam sejarah Mataram, kekosongan ini kelak memicu dendam politik yang berdarah.
Nama “Rahmat” bukan tanpa makna. Ia menggemakan nama Raden Rahmat, Sang Sunan Ampel, leluhur spiritual yang tak hanya membangun basis Islam pesisir, tetapi juga melahirkan trah bangsawan ulama yang berpengaruh dari Gresik hingga Demak. Pilihan nama ini mencerminkan harapan besar, bahwa sang anak kelak menjadi raja yang tak hanya berdaulat, tetapi juga disucikan oleh silsilah kenabian.
Dendam Berdarah di Jantung Istana: Raden Mas Rahmat dan Kebangkitan Warisan Surabaya
Pangeran Pekik, kakek Raden Mas Rahmat, memiliki sejarah panjang dan gemilang. Lahir dengan nama Raden Muhammad Nur atau Imam Faqih, ia adalah putra Panembahan Jayalengkara, Raja Surabaya terakhir sebelum ditaklukkan oleh Sultan Agung pada 1625. Alih alih dibinasakan, Pangeran Pekik justru dinikahkan dengan Ratu Pandansari, adik kandung Sultan Agung, dalam sebuah strategi politik yang mengingatkan pada praktik kerajaan Eropa abad pertengahan. Dari pernikahan inilah lahir aliansi Mataram dan Surabaya yang kuat secara politik dan sah secara spiritual.
Di istana, Pangeran Pekik menjabat sebagai penasihat utama Sultan Agung. Dialah yang menjadi jembatan antara budaya pesisir yang egaliter dan budaya pedalaman yang hierarkis. Ia membawa seni gending dan pedalangan pesisir ke dalam lingkungan istana, sehingga memperkaya khazanah kebudayaan Jawa tengah. Namun perannya tidak hanya sebagai birokrat, melainkan juga sebagai ulama dan panglima. Ketika Giri Kedaton, pusat spiritual Islam keturunan Sunan Giri, harus ditaklukkan, hanya Pangeran Pekik yang dianggap pantas memimpin serangan atas Panembahan Kawis Guwa pada 1636. Kemenangan itu bukan hanya keberhasilan militer, tetapi juga penegasan dominasi spiritual Mataram atas warisan Islam pesisir.
Segalanya berubah ketika takhta beralih kepada Amangkurat I. Raja baru ini dibayangi kecurigaan dan memusuhi siapa pun yang dianggap masih mewarisi pengaruh dari rezim sebelumnya. Pangeran Pekik, yang merupakan mertua, penasihat sepuh, serta simbol rekonsiliasi antara Mataram dan Surabaya, menjadi sasaran utama dari ketakutan itu. Ketegangan yang semula tersembunyi mencapai puncaknya dalam skandal Rara Oyi, sebuah tragedi asmara yang berkelindan dengan politik dan mengguncang jantung istana pada 1663, sekaligus menjadi pertanda runtuhnya moral kekuasaan Mataram.
Rara Oyi, gadis jelita asal Surabaya yang sejak kecil dititipkan di rumah abdi raja untuk kelak menjadi selir Amangkurat, justru memikat hati Adipati Anom. Cinta terlarang itu menyeret seluruh keluarga Pangeran Pekik ke jurang bencana. Demi menyelamatkan cucunya dari sakit asmara, Pekik memohon agar Rara Oyi diserahkan kepadanya. Ia tahu tindakannya melawan titah raja, namun ia tetap mengambil gadis itu, sembari mengucap nubuat getir bahwa peristiwa ini akan menghancurkan Mataram dan menelan hidupnya sendiri.
Nubuat itu terbukti. Begitu mendengar bahwa Rara Oyi diambil tanpa izin, Amangkurat I murka. Ia memandang peristiwa itu sebagai penghinaan terhadap martabat raja sekaligus sebagai bentuk pengkhianatan dari keluarga mertua yang selama ini dicurigainya masih menyimpan jaringan kekuasaan Surabaya. Kemarahan itu segera berubah menjadi pembantaian. Puluhan keturunan Pangeran Pekik dibunuh dalam satu malam, harta mereka disita, dan Ki Wira Reja yang merawat Rara Oyi sejak kecil diasingkan lalu dieksekusi.
Puncak tragedi terjadi ketika Amangkurat memerintahkan Adipati Anom membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri sebagai bukti kesetiaan. Dalam babad, sang putra mahkota memangku gadis itu erat-erat, mencium keningnya, lalu menusuk dadanya sambil menangis. Keputusasaan itu tidak menyembuhkan luka. Sang raja tetap mengusir putranya ke Lipura dan merusak seluruh peninggalan keluarga Pekik.
Setelah darah Rara Oyi dan keluarga Surabaya tumpah, Pangeran Pekik dieksekusi secara senyap sekitar tahun 1670. Tidak ada pengadilan, tidak ada penghormatan, dan tidak ada upacara bangsawan. Ia dimakamkan di Banyusumurup, tanah sunyi yang kemudian dikenal sebagai kompleks makam bagi mereka yang dibuang atau dihukum karena perkara politik. Bagi orang Jawa, pemakaman di tempat itu bukan sekadar hukuman fisik, melainkan pemutusan martabat spiritual.
Babad Tanah Jawi mencatat bahwa setelah kematian Pekik, murka kosmos menyusul: Merapi meletus, gempa mengguncang, abu menutup sawah, dan bintang berekor melintas di langit. Semua itu dibaca sebagai isyarat bahwa hubungan antara raja dan jagat raya telah retak. Di tengah dunia yang goyah itu, Amangkurat I berubah semakin kejam, menebar hukuman tanpa musyawarah, dan menyulut pemberontakan yang akhirnya menewaskannya sendiri.
Dengan demikian, tragedi Rara Oyi bukan hanya kisah asmara terlarang. Peristiwa itu menjadi pemantik runtuhnya kepercayaan, sekaligus menghancurkan jembatan antara pesisiran dan Mataram. Dari situlah spiral kehancuran bermula, menelan Pangeran Pekik dan meretakkan Mataram dari dalam. Dari darah keluarga Surabaya yang tumpah itulah kejatuhan moral dan politik Amangkurat I mulai terlihat.

Pelarian ke Tegal: Kerajaan Tanpa Istana
Setelah Plered jatuh akibat serangan Trunojoyo dan Karaeng Galesong, Amangkurat I melarikan diri ke arah barat bersama Raden Mas Rahmat, sejumlah kerabat, dan para pengikut setia. Mereka menempuh perjalanan penuh penderitaan menuju wilayah Tegal, tempat pengaruh VOC cukup kuat. Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa pelarian ini dipenuhi kesengsaraan. Rakyat yang mereka lewati enggan memberi bantuan kepada seorang raja yang selama ini dikenal sebagai tiran.
Di daerah Tegal, Amangkurat I jatuh sakit parah. Sumber Belanda menyebut gejala muntah darah, yang mungkin mengindikasikan keracunan lambung atau penyakit tropis. Dalam babad dan cerita lisan lokal, muncul dugaan bahwa Raden Mas Rahmat mulai memainkan peran aktif dalam mempercepat ajal ayahnya. Simbolisme kematian pun muncul dalam babad, ketika sang raja bermimpi melihat seekor naga putih keluar dari tubuhnya, lambang bahwa sang wahyu keprabon telah pergi.

Wasiat Berdarah: Takhta yang Tak Diridhoi
Beberapa hari sebelum wafatnya, Amangkurat I memanggil Rahmat ke sisi tempat tidurnya. Dalam dialog yang dicatat dalam “Babad Tanah Jawi” dan dikonfirmasi oleh catatan Belanda, terjadi pertukaran kalimat yang menyiratkan ketegangan. Sang raja berkata:
"Anakku, engkau kelak akan menjadi raja. Tetapi ingat, dosa-dosaku adalah warisanmu."
Rahmat menjawab dengan dingin:
"Kekuasaan bukan warisan. Aku hanya akan mengambil yang tak sanggup lagi engkau pikul."
Wasiat tersebut menjadi tonggak peralihan kekuasaan yang tragis. Rahmat menerima mahkota bukan dari restu penuh, melainkan dari tubuh yang menanti ajal.
Amangkurat I wafat di desa Tegalarum, sebelah selatan Tegal, pada 13 Juli 1677. Jenazahnya tidak dimakamkan di Imogiri, tempat peristirahatan para raja Mataram, tetapi di desa Pasarean, Tegalwangi, Cirebon sebagai bentuk pengasingan bahkan setelah wafat. Dalam naskah Belanda, kematiannya dicatat sebagai kejatuhan seorang raja besar di Jawa yang tumbang oleh akibat dari dosa politiknya sendiri.

Rahmat menjadi Amangkurat II: Raja Konspirasi
Setelah wafatnya sang ayah, Raden Mas Rahmat segera menyatakan diri sebagai Sunan Amangkurat II. Namun, takhta ini tidak langsung diakui luas. Ia harus meminta dukungan VOC di Batavia. Pada Agustus 1677, ia mengirim utusan ke Batavia dan bernegosiasi untuk pengakuan resmi. VOC setuju, tetapi dengan syarat: Amangkurat II harus tunduk, membuka pelabuhan, membayar utang kerajaan sebelumnya, dan mengakui VOC sebagai sekutu utama.
Sejarah mencatat bahwa perjanjian antara Amangkurat II dan VOC, yang diteken pada 20 Oktober 1677, adalah cikal bakal keterikatan Mataram pada struktur kolonial yang kelak akan membelenggu keraton hingga abad ke-19.

Interpretasi Historiografi: Kudeta Tanpa Darah atau Pembunuhan Senyap?
Dalam telaah historiografi, peristiwa wafatnya Amangkurat I mengandung dua kutub penafsiran. Pertama, pandangan konvensional bahwa sang raja wafat karena usia dan penyakit setelah kekalahannya. Pandangan ini didukung oleh dokumen VOC yang lebih netral. Kedua, tafsir konspiratif dari babad dan tradisi lokal, yang melihat peristiwa ini sebagai bentuk kudeta senyap yang dilancarkan oleh Rahmat terhadap ayahnya sendiri.
Penulis memandang bahwa kajian ini perlu memberi ruang bagi tafsir yang lebih kritis. Raden Mas Rahmat dapat dilihat sebagai seorang politisi ulung yang berhasil menyingkirkan ayahnya secara perlahan, tanpa pertumpahan darah, tetapi dengan strategi yang halus. Ia tidak menikam dengan keris, melainkan dengan waktu, isolasi, dan tekanan psikologis politik.

Pasarean sebagai Monumen Dosa dan Penebusan
Makam Sunan Amangkurat I di Tegalwangi bukan hanya tempat peristirahatan, tetapi simbol kegagalan dan transformasi. Di sana terkubur raja besar yang membunuh para ulama, menghabisi saudaranya sendiri, dan dibenci oleh rakyat. Dan dari pusaranya muncul kekuasaan baru yang dipimpin oleh anak yang pernah dikutuknya sendiri.
Raden Mas Rahmat, yang kemudian dikenal sebagai Amangkurat II, naik takhta dalam suasana penuh luka sejarah. Ia bukanlah raja yang diarak menuju singgasana, tetapi raja yang muncul dari reruntuhan, dari tubuh ayahnya sendiri yang menua dan ditinggalkan. Inilah kudeta Jawa dalam bentuk paling senyap: tanpa pedang, tanpa perang saudara, tetapi dengan waktu, isolasi, dan tekanan psikologis yang perlahan memadamkan kehidupan raja absolut Mataram.
Namun sejarah Jawa tidak pernah berhenti pada satu kematian. Ada gema yang lebih tua, lebih dalam, dan lebih berdarah yang tetap menggantung di atas kepala Amangkurat II. Gema itu berasal dari makam lain yang lebih sunyi, yaitu Banyusumurup, tempat Pangeran Pekik yang merupakan kakeknya sendiri ditimbun tanpa penghormatan, tanpa doa bangsawan, dan tanpa ampun.
Pangeran Pekik mungkin tidak pernah menyatakan bahwa darah yang ditumpahkan Amangkurat akan kembali menagih balasan. Namun sejarah menunjukkan bahwa balasan itu tidak datang melalui pedang atau pemberontakan, melainkan melalui seorang cucu. Cucunya sendiri yang diam-diam memastikan ajal raja yang menghancurkan garis Surabaya itu tiba pada waktunya.
Dengan demikian, Pasarean Tegalwangi dan Banyusumurup berdiri sebagai dua kutub moral dalam sejarah Mataram. Satunya tempat jatuhnya raja yang membunuh mertua dan menumpahkan darah bangsawan pesisiran. Satunya lagi tempat terkuburnya korban utama kebengisan itu. Dan di antara dua makam itulah, Amangkurat II berdiri: bukan hanya sebagai raja baru, tetapi sebagai perwujudan dendam yang diwariskan, balasan yang dijanjikan, dan ironi terbesar dalam sejarah politik Jawa abad ketujuh belas.
Pada akhirnya, takhta yang ia rebut bukan sekadar mahkota Mataram. Takhta itu adalah penebusan bagi darah Surabaya, penyelesaian bagi nubuat Pangeran Pekik, dan sekaligus penanda bahwa dalam politik Jawa, setiap dosa tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu pewaris yang tepat untuk menagihnya.
