Khalifah yang Tak Mau Tindakannya Diikuti: Keputusan Umar di Gereja Yerusalem

Editor

Yunan Helmy

05 - Oct - 2025, 10:30

Ilustrasi sang khalifah yang menolak melaksanakan salat di gereja. (ist)


JATIMTIMES - Di tengah sejarah penaklukan yang sering diwarnai darah, ada satu kisah yang justru menyala karena kebijaksanaan: kisah Khalifah Umar bin Khattab di Yerusalem tahun 638 Masehi. Saat kota suci itu jatuh ke tangan umat Islam tanpa setetes pun darah, Umar menunjukkan bahwa kekuasaan sejati bukan soal menaklukkan wilayah, tapi menundukkan ego.

Setelah perjalanan panjang dari Madinah menuju Baitulmukadas, Umar datang bukan dengan pasukan perang, melainkan dengan keheningan dan kesederhanaan. Kudanya pincang, namun langkahnya tegap. Ia bahkan sempat menegur kudanya yang dianggap bersikap angkuh, menandakan bagaimana seorang pemimpin sejati menolak keangkuhan dalam bentuk apa pun, bahkan dari seekor hewan tunggangan.

Baca Juga : 3 Doa Mustajab yang Dianjurkan Diamalkan di Bulan Rabiul Akhir

Yerusalem menyambutnya dengan damai. Uskup Agung Sophronius, pemimpin tertinggi umat Kristen di kota itu, menemuinya dengan penuh rasa hormat. Dalam pertemuan mereka, Umar menjamin keselamatan seluruh penduduk, baik keyakinan, rumah ibadah, maupun harta mereka. Ucapan itu bukan sekadar janji politik. Di wajah Umar, Sophronius melihat ketulusan yang sulit ditemukan di masa para kaisar sebelumnya.

Namun bagian paling menggetarkan dari kisah ini bukanlah perjanjian damai, melainkan saat waktu salat tiba di Gereja Anastasis, tempat yang oleh umat Nasrani diyakini sebagai lokasi pemakaman dan kenaikan Isa Almasih. Sophronius, dengan niat baik, mempersilakan Umar melaksanakan salat di dalam gereja itu. Sebuah gestur penghormatan lintas iman.

Tapi Umar menolak. Dengan nada tenang, ia menjelaskan alasannya bukan karena meremehkan gereja, melainkan justru untuk melindungi umat Nasrani di masa depan. Ia khawatir, jika ia salat di sana, umat Islam kelak akan menganggap tindakannya sebagai teladan (sunah) dan menjadikan gereja itu masjid.

“Jika aku salat di sini,” kira-kira demikian makna dari sikap Umar, “Umatku mungkin akan mengikuti jejakku. Dan kalian akan kehilangan rumah ibadah kalian.”

Sebuah keputusan yang tampak sederhana, tetapi mengguncang makna kepemimpinan. Umar memahami bahwa toleransi bukan hanya soal menerima, tapi juga tahu kapan harus menahan diri.

Ia pun memilih tempat lain untuk menunaikan salat di reruntuhan Kuil Sulaiman, tak jauh dari gereja itu. Dari titik sederhana itulah  berdiri Masjid Al-Aqsa, yang  menjadi salah satu tempat suci utama umat Islam.

Baca Juga : Ramalan Zodiak 5 Oktober 2025: Hari Penuh Energi Baru, Kejutan Rezeki, dan Cinta yang Menghangat

Muhammad Husain Haekal dalam Al-Faruq Umar menulis bahwa tindakan Umar itu adalah bukti kejujuran dan kecintaan terhadap kebenaran. Ia tidak ingin kehadirannya menjadi alasan bagi siapa pun untuk menghapus keberagaman yang telah ada.

Keputusan Umar hari itu mungkin tampak sepele di mata dunia yang gemar meniru simbol, tapi sesungguhnya ia menulis pelajaran abadi tentang batas antara iman dan kekuasaan. Ia tahu, teladan sejati bukanlah dalam bentuk ritual yang diulang, melainkan dalam nilai yang dijaga: keadilan, kebijaksanaan, dan rasa hormat kepada keyakinan lain.