Ramai Isu Darurat Militer Usai Gelombang Demo, Ini Penjelasannya

Reporter

Binti Nikmatur

Editor

Dede Nana

02 - Sep - 2025, 04:34

Potret para parajurit TNI ilustrasi darurat militer. (Foto: LiteX)

JATIMTIMES - Isu soal kemungkinan diberlakukannya darurat militer mencuat di tengah gelombang unjuk rasa menolak kenaikan tunjangan anggota DPR RI. Kekhawatiran publik semakin besar setelah tragedi meninggalnya driver ojol Affan Kurniawan yang tewas dilindas mobil rantis Brimob pada Kamis (28/8/2025).

Awalnya, unjuk rasa berlangsung dalam bentuk bentrokan antara mahasiswa dan aparat. Namun, situasi kemudian berkembang menjadi pembakaran fasilitas umum hingga penjarahan rumah pejabat. 

Baca Juga : Garda Sakera Pertanyakan Lonjakan NJOP hingga 1700 Persen, DPRD Situbondo Tegaskan Tak Ada Kenaikan

Puncaknya terjadi pada Sabtu (30/8), ketika sejumlah akun media sosial yang aktif dalam pergerakan menyerukan agar massa menunda aksi dan mundur sementara waktu.

Ketua Setara Institute, Hendardi, mengingatkan bahaya bila kondisi anarkis dibiarkan berlarut-larut. Menurutnya, penetapan darurat sipil hingga darurat militer harus dihindari.

“Aksi anarkis malam hari, dini hari, dan terarah adalah pola yang hanya bisa digerakkan oleh orang-orang terlatih. Kerumunan massa anarkis adalah fakta permukaan saja,” kata Hendardi, dikutip Kompas.com, Selasa (2/9/2025). 

Ia menilai ada pihak yang sengaja memanfaatkan momentum unjuk rasa damai mahasiswa, buruh, dan driver ojol menjadi aksi kekerasan. “Dalam situasi begini, jelas terdapat kontestasi kepentingan yang diduga menggerakkan aksi-aksi anarkis,” ujarnya.

Hendardi meminta aparat bertindak cepat untuk mencegah kerusuhan berlanjut. Jika tidak, kata dia, situasi rawan dimanfaatkan sebagai pembenaran kebijakan represif, termasuk darurat sipil dan darurat militer.

Lantas apa sebenarnya darurat militer yang ramai dibahas sejak aksi demontrasi pecah? Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, darurat militer merupakan kondisi ketika negara menghadapi ancaman serius yang tidak bisa ditangani hanya dengan mekanisme sipil.

Ancaman tersebut bisa berupa pemberontakan bersenjata, konflik sosial yang meluas, hingga situasi perang. Dalam kondisi ini, kewenangan sipil akan beralih sepenuhnya ke militer untuk menjaga stabilitas keamanan nasional. 

Jika status darurat militer benar-benar diberlakukan, ada sejumlah konsekuensi yang akan dirasakan masyarakat. Merujuk pada Perppu No. 23/1959, berikut beberapa di antaranya:

• Kekuasaan Sipil Diambil Alih Militer

Pemerintah daerah maupun kepolisian tidak lagi menjadi otoritas utama. Seluruh kendali keamanan berada di bawah militer.

• Pembatasan Hak Sipil

Kebebasan pers, penerbitan, hingga penyebaran informasi bisa dibatasi atau disensor jika dinilai mengganggu stabilitas.

• Penangkapan dan Penahanan

Baca Juga : Gus Fawait Siapkan Anggaran Rp 400 Miliar untuk Kesehatan Masyarakat Jember

Militer memiliki kewenangan menangkap dan menahan seseorang hingga 20 hari tanpa melalui mekanisme hukum sipil biasa.

• Pengusiran dan Larangan Tinggal

Individu yang dianggap membahayakan dapat dipaksa keluar dari suatu wilayah tertentu.

• Kewajiban Kerja dan Militerisasi

Warga bisa diwajibkan melakukan pekerjaan tertentu untuk mendukung keamanan serta pertahanan negara.

Sebelumnya, pegiat literasi Muhidin M Dahlan mengingatkan pengalaman masa lalu, yakni Kerusuhan Mei 1998. Ia menyinggung tahapan-tahapan yang bisa berujung pada status darurat.

Secara hukum, ketentuan darurat militer diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959. Pasal 1 menyebutkan, presiden selaku panglima tertinggi angkatan perang berwenang menetapkan darurat sipil, darurat militer, atau keadaan perang apabila keamanan negara terancam oleh pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam yang tidak bisa ditangani dengan cara biasa.

Dalam kondisi darurat militer, presiden memegang kekuasaan tertinggi dengan didampingi menteri serta jajaran kepala staf TNI-Polri. Pada tingkat daerah, kewenangan berada di tangan kepala daerah yang dibantu komandan militer tertinggi, kapolda, dan kepala kejaksaan setempat.

Untuk diketahui, unjuk rasa menolak kenaikan tunjangan DPR RI sendiri dimulai sejak 25 Agustus lalu. Gelombang protes semakin besar pada 28 Agustus setelah Affan Kurniawan tewas dalam insiden di Jakarta.

Kemarahan publik menyulut aksi serentak di berbagai kota, mulai dari Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Tegal, hingga Makassar. Sejumlah fasilitas umum dibakar, termasuk kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya pada Sabtu (30/8/2025). Situasi inilah yang kemudian memicu kekhawatiran publik akan skenario menuju darurat militer.