Ki Juru Kiting: Panglima Tua Mataram yang Menaklukkan Madura dengan Nasi Liwet

Reporter

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy

04 - Sep - 2024, 10:04

Ilustrasi Ki Juru Kiting menaklukkan Madura dengan nasi liwet ajaib. (Foto: Dibuat dengan AI/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di balik gerbang kompleks makam Gambiran, Umbulharjo, Yogyakarta, tersembunyi sejarah yang sarat dengan kisah perjuangan dan kekuasaan. Kompleks makam ini dikenal dengan nisan-nisan kuno yang mencerminkan berbagai zaman, sebuah tanda jelas bahwa tempat ini telah ada sejak lama. 

Di bagian utara kompleks, di bawah naungan pohon nogosari yang rindang, terdapat empat nisan yang menandakan status bangsawan yang dimakamkan di sini. Keempat nisan ini membawa lambang keraton, mengingatkan kita pada kejayaan dan tragedi yang pernah terjadi di bawah panji Kerajaan Mataram.

Baca Juga : Bagaimana Hukum Berdoa namun Tidak Tahu Maknanya? Ini Kata Buya Yahya

Nama-nama di batu nisan ini adalah saksi bisu sejarah: Ki Juru Kiting, Pangeran Mandurareja, Kyai Dadap Tulis, dan Tumenggung Mayang. Di antara mereka, nama Ki Juru Kiting menonjol sebagai seorang panglima perang dan patih Mataram yang memainkan peran penting dalam penaklukan Madura oleh Mataram pada Abad Ke-17. Keberadaan makam ini menjadi bukti nyata bahwa pengaruh Mataram merambah jauh hingga ke Madura, sebuah kepulauan yang menjadi sasaran ambisi Sultan Agung.

Keturunan Sang Mahapatih Mataram Islam: Ki Ageng Juru Mertani

Ki Ageng Juru Mertani, seorang tokoh besar dalam sejarah Mataram Islam, memiliki garis keturunan yang panjang dan penuh dengan tokoh-tokoh berpengaruh. Sebagai cucu dari Ki Ageng Selo dan cicit dari Sunan Giri, Ki Juru Mertani tidak hanya dikenal sebagai seorang negarawan dan guru spiritual yang bijaksana, tetapi juga sebagai sosok yang berperan penting dalam berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Dalam silsilah keturunannya, terlihat bahwa darah keagungan dan kebijaksanaan yang dimilikinya terus diwariskan kepada generasi penerusnya.

Salah satu keturunan penting dari Ki Ageng Juru Mertani adalah Pangeran Juru Mayem, yang juga dikenal dengan nama Pangeran Juru Kiting, atau lebih terkenal sebagai Ki Juru Kiting. Ia dianugerahi gelar Panembahan Juru Mayem oleh Sultan Agung, sebuah gelar yang menandakan perannya yang signifikan dalam pemerintahan Mataram pada masa itu. 

Pangeran Juru Mayem diangkat menjadi Wadono Djakso di Keraton Mataram, sebuah posisi penting yang menunjukkan kepercayaan besar dari pihak kerajaan. Setelah pensiun dari jabatannya, ia diberi gelar Panembahan Juru Mayem atau juga dikenal sebagai Panembahan Juru Kiting. Gelar ini menandai statusnya sebagai seorang yang dihormati dalam masyarakat.

Pangeran Juru Mayem kemudian menetap di Gambiran, tempat ia menghabiskan sisa hidupnya. Di sanalah ia wafat dan dimakamkan, mengakhiri perjalanan hidupnya yang penuh dengan pengabdian kepada Mataram.

Pangeran Juru Mayem menikah dengan putri dari Panembahan Juminah dan Ratu Mas Hadi. Dan dari pernikahan tersebut, lahir keturunan yang terus melanjutkan jejak keagungan keluarga ini. Dari pernikahannya ini, Pangeran Juru Mayem menurunkan beberapa tokoh yang terus memperkuat pengaruh keluarga ini di Mataram. Salah satunya adalah Tumenggung Surotani, yang juga merupakan keturunan langsung dari Panembahan Juru Mayem.

Garis keturunan ini terus berlanjut dengan berbagai peran penting yang diemban oleh keturunan mereka, seperti Pangeran Manduraredja I dan Pangeran Manduraredja II, yang terlibat dalam pertempuran di Boyolali dan turut membangun kekuatan Mataram.

Dalam perjalanan sejarahnya, keturunan Ki Ageng Juru Mertani, melalui sosok seperti Pangeran Juru Kiting, terus berkontribusi pada kejayaan Mataram. Jejak-jejak mereka tidak hanya tercatat dalam sejarah, tetapi juga terus hidup melalui tradisi dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Trah ini, yang dimulai dari seorang negarawan agung, terus menjadi pilar penting dalam sejarah Mataram dan Jawa secara keseluruhan. 

Mataram dan Madura: Perang yang Mengubah Sejarah Jawa

Ketika Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613, ia berambisi menjadikan Mataram sebagai kekuatan dominan di Jawa. Setelah berhasil menaklukkan Surabaya, yang saat itu merupakan kerajaan besar dengan kekuatan perdagangan yang tak tertandingi, Sultan Agung mengarahkan pandangannya ke Madura, sekutu kuat Surabaya. Pada tahun 1624, Sultan Agung memutuskan untuk melancarkan serangan besar-besaran ke Madura.

Serangan ini tercatat dalam Serat Kandha, di mana disebutkan bahwa Aria Jaya Puspita, yang baru saja diangkat sebagai Adipati Sujanapura, ditunjuk sebagai panglima ekspedisi militer tersebut. Didukung oleh Adipati Pragola dari Pati, Pangeran Sumedang, dan Pangeran Silarong, adik Sultan Agung, pasukan Mataram bergerak melalui dua jalur—laut dan darat—untuk menggempur Madura.

Namun, pasukan Mataram menemui perlawanan sengit dari pasukan Madura yang dipimpin oleh Pangeran Madura dan sekutunya dari Sumenep, Pamekasan, Balega, Pakacangan, dan Surabaya. Dengan jumlah pasukan sekitar 100.000 orang, mereka berhasil memukul mundur pasukan Mataram dalam pendaratan pertama. Pertempuran sengit berlanjut selama berhari-hari tanpa hasil yang menentukan. Kedua belah pihak mengalami kerugian besar, dan pasukan Mataram mulai kelelahan.

Ki Juru Kiting: Sang Penyuluh Semangat Pasukan Mataram

Di tengah ketidakpastian dan kelelahan pasukan, Sultan Agung mengirimkan bantuan dari Mataram, termasuk seorang tokoh tua yang sangat dihormati, Ki Juru Kiting. Ki Juru Kiting, yang saat itu sudah berusia lanjut, dipanggul di atas tandu menuju medan perang. Kehadirannya bukan hanya sebagai panglima perang, tetapi juga sebagai sosok spiritual yang membawa energi baru bagi pasukan Mataram.

Ki Juru Kiting adalah keturunan langsung dari Ki Juru Martani, seorang penasihat ulung dan salah satu pendiri Kerajaan Mataram Islam. Hubungan darah dan keberanian yang diwariskan dari leluhurnya membuat Ki Juru Kiting menjadi sosok yang disegani. 

Baca Juga : Mas Dhito Ingatkan Peranan Penting Seorang Ayah bagi Pertumbuhan Anak

Dalam perang melawan Madura, Ki Juru Kiting dikenal dengan taktik spiritualnya yang unik. Ia memerintahkan untuk menyiapkan nasi liwet, yang kemudian dibagikan kepada seluruh prajurit. Setelah itu, ia melakukan ritual dengan dipikul mengelilingi pasukan sebanyak tiga kali, sembari memberikan perintah kepada pasukan untuk melihat ke atas dan kemudian ke bawah.

Keajaiban terjadi. Pasukan Mataram yang semula letih tiba-tiba kembali bersemangat. Dalam serangan berikutnya, mereka berhasil memukul mundur pasukan Madura dan meraih kemenangan yang menentukan.

Nama Ki Juru Kiting kemudian menjadi legenda di kalangan prajurit Mataram dan menjadi hantu bagi lawan-lawannya di Madura. Kemenangan ini membuka jalan bagi Mataram untuk membawa adipati Madura dan 1.000 pengikutnya sebagai tawanan ke Mataram.

Nasib Madura di Bawah Kekuasaan Mataram

Penaklukan Madura tidak berakhir dengan mudah. Banyak raja Madura yang tewas dalam ekspedisi ini. Namun satu-satunya yang selamat adalah Raden Prasena, seorang pangeran dari Kerajaan Arosbaya. Menurut cerita lisan, Raden Prasena dididik dalam ajaran Islam oleh ibunya dan pamannya, Pangeran Santa Merta. Setelah Madura jatuh, Raden Prasena dibawa ke Mataram dan menjadi tahanan perang.

Namun, nasibnya berubah setelah Sultan Agung menjadikannya abdi dalem dan kemudian mengangkatnya sebagai anak angkat. Dengan loyalitas yang tinggi, Raden Prasena berhasil memikat hati Sultan Agung, yang pada akhirnya mengangkatnya sebagai penguasa Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. Pada 23 Desember 1624, Raden Prasena resmi dinobatkan sebagai penguasa Madura dan menikah dengan Kanjeng Ratu Ibu, adik Sultan Agung.

Kepemimpinan Cakraningrat I di Madura membawa stabilitas dan menjadi bukti hubungan baik antara Mataram dan Madura. Sultan Agung memperlakukan Madura bukan sebagai daerah jajahan, melainkan sebagai bagian penting dari kerajaan yang berpusat di Kotagede. 

Dari pernikahannya dengan Kanjeng Ratu Ibu, Cakraningrat I memiliki beberapa putra dan putri yang kelak menjadi penerus dinasti Cakraningrat di Madura.

Salah satu keturunan dari Cakraningrat I adalah Raden Demang Molojo, yang menjadi ayah dari seorang ksatria tangguh bernama Raden Trunojoyo. Trunojoyo dikenal dalam sejarah sebagai pemberontak yang menantang kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I. Pemberontakan ini dipicu oleh pemerintahan Amangkurat I yang keras dan persekutuan dengan VOC. Meskipun akhirnya gagal, pemberontakan Trunojoyo dikenang sebagai salah satu perlawanan terbesar terhadap kekuatan kolonial di Jawa.

Pemberontakan Trunojoyo mencapai puncaknya ketika bersama Karaeng Galesong, ia berhasil menguasai istana Mataram di Plered. Namun, kemenangan ini tidak bertahan lama, dan Trunojoyo akhirnya ditangkap dan dieksekusi oleh pasukan Mataram yang dipimpin oleh Amangkurat I dengan bantuan VOC.

Mengenang Ki Juru Kiting

Ki Juru Kiting mungkin bukan nama yang sering disebut dalam sejarah besar Mataram, namun peranannya dalam penaklukan Madura tidak dapat diabaikan. Ia adalah sosok yang membawa kemenangan bagi Mataram melalui perpaduan taktik militer dan kekuatan spiritual. Makamnya di Gambiran menjadi saksi bisu dari perjalanan hidup seorang pahlawan yang telah memberikan kontribusi besar bagi kejayaan Mataram.

Kisah Ki Juru Kiting mengingatkan kita bahwa sejarah tidak hanya dibentuk oleh raja-raja dan penguasa besar, tetapi juga oleh para panglima dan prajurit yang berjuang di medan perang. Warisan Ki Juru Kiting terus hidup dalam ingatan, sebagai salah satu tokoh kunci dalam sejarah penaklukan Mataram atas Madura.