Menelusuri Jejak Sang Pahlawan: Makam Cut Nyak Dhien Ditemukan di Sumedang setelah 50 Tahun Terlupakan

Reporter

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy

17 - Aug - 2024, 02:14

Foto asli Cut Nyak Dhien, pahlawan wanita adal Aceh yang menunjukkan keberanian dan keteguhan dalam balutan hijab.

JATIMTIMES - Di tengah kedamaian dan kesunyian Sumedang pada tahun 1960, sebuah penemuan mengguncang dunia sejarah Indonesia. Setelah setengah abad menghilang, makam Cut Nyak Dhien, pahlawan besar dari Aceh, akhirnya ditemukan. 

Ini bukan hanya tentang lokasi peristirahatan terakhir seorang pejuang, tetapi juga sebuah jendela ke masa lalu yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan demi tanah air.

Baca Juga : Gelar Upacara di Monumen Bersejarah, Gus Fawait: Upacara di Desa Simbol Melawan Kemiskinan

Makam tersebut terletak di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Sumedang Selatan. Makam itu menjadi saksi bisu dari cerita heroik yang telah terpendam lama.

Latar Belakang Sejarah: Cut Nyak Dhien, Pejuang dari Tanah Aceh

Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Aceh dari keluarga bangsawan yang taat beragama. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia, adalah uleebalang atau panglima perang wilayah VI Mukim. Lebih dari itu, Cut Nyak Dhien merupakan keturunan langsung dari sultan Aceh, memperkokoh posisinya dalam masyarakat Aceh.

Pada usia 14 tahun, ia menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Kehidupan mereka dipenuhi oleh kecintaan terhadap keluarga dan tanah air.

Namun, ketenangan tersebut segera terganggu oleh pecahnya Perang Aceh melawan kolonialisme Belanda pada tanggal 26 Maret 1873. Belanda, dengan armada kapal perang Citadel van Antwerpen, memulai serangan terhadap Aceh, memicu perang panjang yang akan menjadi salah satu perlawanan paling heroik dalam sejarah bangsa Indonesia.

Awal Perjuangan: Perang Aceh Pertama

Pada tahap awal Perang Aceh (1873-1874), Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah memimpin perlawanan terhadap pasukan Belanda yang dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Köhler. Dalam pertempuran sengit tersebut, Cut Nyak Dhien dan suaminya, Teuku Ibrahim Lamnga, bertarung di garis depan. 

Masjid Raya Baiturrahman menjadi saksi bisu kebiadaban Belanda yang membakar tempat suci tersebut setelah menguasainya pada 8 April 1873.

Namun, kesultanan Aceh berhasil memenangkan perang pertama meski harus mengorbankan banyak jiwa.

Kehilangan yang Menyakitkan dan Semangat yang Tak Pernah Padam

Cut Nyak Dhien merasakan pukulan berat ketika suaminya, Teuku Ibrahim Lamnga, tewas dalam pertempuran di Gle Tarum pada 29 Juni 1878. Kesedihan mendalam itu justru memupuk semangat juangnya. Ia bersumpah akan menghancurkan penjajah yang telah merenggut kehidupan orang yang dicintainya.

Perjuangan ini kemudian mempertemukannya dengan Teuku Umar, seorang pejuang Aceh yang kemudian menjadi suami keduanya.

Kolaborasi Kuat: Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar

Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, yang mengubah dinamika perlawanan melawan Belanda. Teuku Umar, dengan kecerdasannya, menggunakan taktik infiltrasi untuk mendekati Belanda. Pada tanggal 30 September 1893, ia menyerahkan diri kepada Belanda, mengelabui mereka untuk memberinya komando unit pasukan dengan kekuasaan penuh. 

Namun, ini adalah bagian dari rencana liciknya. Pada kesempatan yang tepat, Teuku Umar dan pasukannya membawa lari senjata dan perbekalan Belanda, menandai pengkhianatan yang terkenal sebagai "Het verraad van Teukoe Oemar".

Kolaborasi antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar tidak hanya memperkuat perlawanan Aceh, tetapi juga menginspirasi rakyat Aceh untuk terus melawan meski menghadapi ancaman yang semakin besar dari Belanda.

Mereka berhasil mengadakan serangan balik terhadap Belanda, menciptakan kekacauan dalam jajaran pasukan kolonial.

Akhir Perjuangan Teuku Umar dan Pemimpin yang Tak Kenal Lelah

Perjuangan mereka mencapai puncaknya ketika Teuku Umar gugur dalam pertempuran pada 11 Februari 1899. Kepergian Teuku Umar menjadi pukulan telak bagi Cut Nyak Dhien dan pasukannya. Namun, semangat juang Cut Nyak Dhien tak pernah pudar. Dia memimpin perlawanan di pedalaman Meulaboh, meski kesehatannya semakin memburuk dan pasukannya semakin berkurang.

Ketika situasi semakin sulit, salah satu pengikut setianya, Pang Laot, dengan berat hati memberi tahu lokasi markas mereka kepada Belanda karena iba melihat kondisi Cut Nyak Dhien. Belanda segera melancarkan serangan yang mengakhiri perlawanan kecil itu. Dalam penangkapan tersebut, Cut Nyak Dhien tetap berusaha melawan, menunjukkan keberanian luar biasa yang menjadi ciri khasnya sepanjang hidupnya.

Pengasingan di Sumedang dan Akhir Hayat

Baca Juga : Upacara Peringatan HUT RI ke-79 di Magetan Penuh Semangat Kebangsaan

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat hingga kesehatannya pulih. Namun, ketakutan Belanda bahwa kehadirannya di Aceh akan membangkitkan semangat perlawanan membuat mereka memutuskan untuk mengasingkannya jauh dari tanah kelahirannya. 

Pada tahun 1906, Cut Nyak Dhien dibawa ke Sumedang, Jawa Barat, bersama tahanan politik Aceh lainnya.

Di Sumedang, Cut Nyak Dhien, yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai "Ibu Perbu", menjalani hari-hari terakhirnya dalam pengasingan. Meski identitasnya sebagai pahlawan Aceh dirahasiakan, ia tetap dihormati sebagai tokoh agama yang bijaksana. Dia menghabiskan sisa hidupnya dengan mengajar agama dan memberikan inspirasi kepada masyarakat sekitarnya. Cut Nyak Dhien meninggal pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Sumedang.

Penemuan Makam yang Mengungkap Kisah Terpendam

Setelah lebih dari setengah abad berlalu, pada tahun 1960, pemerintah Aceh akhirnya menemukan makam Cut Nyak Dhien di Sumedang. Penemuan ini adalah hasil dari pencarian intensif yang dipicu oleh rasa hormat dan pengakuan terhadap jasa-jasa besar Cut Nyak Dhien.

Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan, memimpin upaya untuk mengidentifikasi makam yang telah lama tersembunyi itu. Makam Cut Nyak Dhien terletak di area yang sekarang dikenal sebagai Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Sumedang Selatan.

Penemuan ini menjadi simbol kebangkitan dan penghormatan terhadap perjuangan yang pernah ia lakukan. Meski ada wacana untuk memindahkan makamnya ke Aceh, masyarakat Sumedang merasa memiliki keterikatan yang kuat dengan sosok "Ibu Perbu" dan menolak pemindahan tersebut.

Monumen Sejarah dan Warisan Abadi

Makam Cut Nyak Dhien kini menjadi tempat ziarah yang dihormati. Terletak dalam sebuah kompleks yang dikelilingi pagar besi dengan luas 1.500 m², makam ini dikelilingi oleh aura sejarah yang mendalam. 

Di area tersebut, terdapat pula musala dan batu nisan yang diyakini sebagai makam keluarga ulama H Sanusi. Pengurus makam sering menerima kunjungan dari masyarakat Aceh yang tinggal di Sumedang dan sekitarnya, yang datang untuk berziarah dan memperingati jasa-jasa pahlawan mereka.

Meskipun ada masa ketika jumlah peziarah menurun akibat situasi politik di Aceh, seperti Gerakan Aceh Merdeka, semangat untuk mengenang Cut Nyak Dhien tidak pernah padam. Bahkan hingga kini, makam ini tetap menjadi tempat perenungan dan penghormatan bagi mereka yang terinspirasi oleh kisah heroik Cut Nyak Dhien.

Pengakuan Nasional

Presiden Soekarno, melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964, secara resmi mengakui Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Pengakuan ini tidak hanya menandai pentingnya kontribusi Cut Nyak Dhien terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga mempertegas peran penting perempuan dalam sejarah bangsa.

Warisan yang Tak Terlupakan

Kisah Cut Nyak Dhien adalah bukti nyata dari semangat juang yang tak pernah padam. Sebagai seorang wanita yang lahir dari darah bangsawan dan memilih jalur perjuangan yang penuh pengorbanan, dia menjadi simbol keteguhan dan keberanian.

Penemuan makamnya setelah 50 tahun menandakan bahwa sejarah yang terlupakan dapat terungkap kembali dan memberikan inspirasi bagi generasi mendatang.

Hari ini, nama Cut Nyak Dhien dikenang sebagai pahlawan yang telah memberikan segalanya untuk bangsanya. Makamnya di Sumedang bukan hanya sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga sebuah monumen yang mengingatkan kita semua akan nilai-nilai keberanian, keteguhan, dan pengorbanan demi kebebasan dan keadilan. 

Semoga semangat Cut Nyak Dhien terus hidup dalam hati setiap orang Indonesia, mengilhami kita untuk terus berjuang dan berbakti kepada tanah air tercinta.