Rawan Tsunami, Alat Deteksi Malah Rusak Semua
Reporter
Dede Nana
Editor
Yunan Helmy
24 - Jan - 2019, 06:34
Bencana alam, baik berupa banjir, gempa, puting beliung, sampai tsunami, telah menjadi pemandangan setiap tahun bagi masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia serta pegunungan yang mengelilingi dataran Nusantara sehingga dikenal sebagai cincin api, berbagai bencana alam, terutama gempa dan tsunami, menjadi akrab bagi masyarakat Indonesia.
Bahkan tsunami sudah menerjang Indonesia sejak tahun 416. Seperti yang dicatat oleh Badan sains Amerika Serikat, National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), bahwa ada 246 kejadian tsunami sejak tahun 416 hingga 2018 di Indonesia.
Sedangkan untuk bencana gempa, dalam katalog berjudul Arthur Wichmann's Die Erdbeben Des Indischen Archipels atau Gempa Bumi di Kepulauan Hindia Belanda, terkumpul cerita 61 gempa bumi dan 36 tsunami di Indonesia antara tahun 1538 hingga 1877.
Berbagai catatan gempa dan tsunami tersebut secara jelas menyiratkan kondisi nyata bahwa Indonesia memang memiliki tingkat kerawanan bencana alam terbilang tinggi dikarenakan topografinya. Sayangnya, sejarah bencana alam tersebut tidak membuat pemerintah membuat kebijakan berkelanjutan dalam antisipasinya. Baik mengenai pembelanjaan alat deteksi bencana alam, termasuk gempa maupun tsunami, maupun penguatan di berbagai lembaga terkait dengan persoalan tersebut.
"Selama ini kita melulu disibukkan upaya penanganan pasca-gempa. Sementara antisipasi masih sangat minim, bahkan belum menjadi fokus perhatian," kata Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Hammam Riza, seperti dilansir BBC News.
Apalagi berbicara anggaran. Untuk memiliki deep-ocean tsunami detection buoys (disebut buoys), yaitu alat untuk mendeteksi perubahan permukaan air laut, Indonesia baru memilikinya setelah mendapat bantuan Jerman dan Amerika Serikat dengan jumlah total 21 unit. Padahal, alat deteksi tsunami berteknologi tinggi seharusnya dipasang di sepanjang kawasan pesisir Indonesia yang rawan bencana.
Dari total 21 buoys tersebut, semuanya rusak dan tidak berfungsi, seperti yang disampaikan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Anggaran yang terbatas diklaim sebagai salah satu pemicu persoalan itu.
Kondisi di berbagai daerah rawan gempa dan tsunami tersebut juga terjadi di Kabupaten Malang. Seperti diketahui, Kabupaten Malang salah satu wilayah di Jawa Timur (Jatim) yang masuk sebagai daerah kategori merah bencana alam.
Alat pendeteksi tsunami atau early warning system (EWS) yang terpasang di wilayah Pantai Tamban, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan (Sumawe), juga mengalami kerusakan dan tidak berfungsi. Padahal dengan wilayah yang memiliki garis pantai terpanjang di Pulau Jawa serta berbatasan langsung dengan Samudera Hindia serta terdapat zona subduksi lempeng Eurasia dan Australia, pantai di Malang selatan memiliki potensi tsunami.
Potensi tsunami tersebut diperkuat dengan pernyataan Kasgeof BMKG Stasiun Karangkates Musripan. Dia menyatakan gempa bumi pesisir selatan Malang selatan berpotensi besar menimbulkan tsunami.

"Kondisi ini memang menjadi dilematis. EWS itu milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dipasang sekitar tahun 2015 di Pantai Tamban. Kini rusak dan tidak berfungsi. Kami tidak punya sendiri untuk alat seperti ini," kata Bambang Istiawan, kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang, Kamis (24/01/2019).
Bambang melanjutkan, rusaknya EWS praktis membuat pesisir pantai Malang Selatan tidak lagi memiliki alat deteksi terjadinya tsunami. Kondisi tersebut secara langsung memperlemah mitigasi atau upaya preventif pemerintah mencegah munculnya korban jiwa saat gelombang tsunami menerjang daratan. "Kami telah beberapa kali melakukan pengajuan pengadaan EWS, tapi sampai saat ini belum ada hasil," ujarnya.
Kondisi yang menimpa Pemkab Malang tersebut tentunya bukan hanya terjadi di bumi Arema. Tingkat pusat pun, misalnya BMKG pusat, mengalami persoalan yang sama terkait dengan peralatan deteksi tsunami dan gempa. Jangankan melakukan penambahan alat, untuk pemeliharaan yang masih ada saja sudah sangat terbatas.
Anggaran kembali menjadi persoalan pemerintah sampai saat ini menghadapi bencana alam yang telah begitu akrab dengan masyarakat Indonesia. Minus alat deteksi bencana canggih membuat antisipasi menjadi sangat lemah. Budaya berinvestasi teknologi agar risiko bencana dapat semakin berkurang pun terlihat tidak maksimal. Bahkan bisa disebut sangat minim dan belum jadi fokus pemerintah.
Kita selama ini terbiasa sibuk dengan hasil akhir bencana. Atau pasca-bencananya, tapi minim antisipasi, apalagi berupaya berinvestasi dalam teknologi yang tentunya membutuhkan anggaran besar.
"Selama ini kita melulu disibukkan upaya penanganan pasca-gempa. Sementara antisipasi masih sangat minim, bahkan belum menjadi fokus perhatian," begitulah ucap BPPT.