Puisi Pendek
MENUJU ARAH PULANG
dingin tak bisa mengalahkan ingatan, tak bisa mengalahkan kenangan.
harapan yang ku sirami tadi siang melepuh, sekarat di mamah billboard sebuah iklan rokok.
aku dikalahkan berulang-ulang.
Ah, sunyi yang tak suci, sunyi yang tak suci.
Inikah wajahmu, begitulah kau meracau, berulang-ulang tadi malam.
Ada mata yang masih menerawang
Menyibak air hujan
Mengabaikan segala yang masih saja berderak, bercahaya.
Katanya, jadilah kaya, jadilah kaya
Sebelum kau mengarang cerita.
Dingin berparas unggu, kini
Malam tak pernah bisa membunuhnya.
Dan aku kembali membaca setiap arah jalan pulang
Yang disesatkan hujan berulang-ulang.
Membaca arah pulang. Membaca arah pulang
Membaca dalam remang air mata
Atau inikah yang dinamakan bimbang.
Ah, sunyi yang tak suci
Sunyi yang tak suci, inikah wajahmu.
begitulah selalu kau dendangkan resah berulang-ulang, menikam-nikam.
Di depan, cahaya sepeda motor masih saja nyalang
Tak pernah bisa pulang.
PERCAKAPAN DALAM BUNGKUS ROKOK
lantas haruskan aku bakar seluruh ingatan di pagi yang basah sekedar untuk tentram
selamat pagi, beri aku segelas kopi kental dan pahit.
Baca Juga : Film Dokumenter The Beatles 'Get Back' Rilis September 2020
dan, hiruk itu kembali datang mencatat segala keasingan di selembar nota
menu makanan dan minuman, seperti biasa
adakah yang berbeda pagi ini, suara dari kepalaku bertanya.
hujan menyibakkan tawa para pengunjung
menyalakan amarahku, resah yang tersesat di labirin
hujan pagi ini.
adakah yang tahu darimana resah diciptakan.
lantas haruskan aku bakar
seluruh ingatan di pagi yang basah sekedar untuk tentram.
selamat sore, beri aku segelas bir
tanpa es. dan, pikuk itu masih saja datang menggoreskan coretan-coretan diwajahku.
tentang para perempuan yang tercekik oleh busananya sendiri, tentang binatang-binatang yang khusyuk bersembahyang, tentang politik yang tak memiliki tepi, tentang atjeh, tentang TKI, tentang larangan merokok di ruang publik, tentang para wartawan yang dipertanyakan, tentang seks di liang kakus, tentang wajah kekasih di sebrang sana, tentang resah, tentang resah, tentang segala yang berkecambah
di mata di kepala dan di hati yang entah terisi apa.
hujan hanyalah sekedar kumpulan air yang berai
tak mampu menghanyutkan diri, mendiamkan ramai
dalam diri dalam sepi.
lantas haruskan aku bakar
seluruh ingatan agar aku kembali tentram.
adakah yang pernah berpapasan muka dengan resah, tuan?
selamat malam, beri aku aspirin, obat tidur atau apapun itu, hingga aku mampu membunuh
resah. hingga aku mampu tertidur lelap.
hingga aku kembali ke awal yang paling dangkal
tangisan.