MALANGTIMES - Siapa yang tidak kenal dengan kekhasan Suku Tengger, baik budaya, sejarah maupun pesona alam yang dihuninya sejak abad ke-18 sampai kini.
Kumparan pesona Suku Tengger yang bertahan sampai kini telah menyedot ribuan wisatawan dalam dan mancanegara setiap harinya, terutama saat musim liburan?
Baca Juga : Pacu Target RPJMD, Pemkab Malang Buka Lebar Kran Investasi Pariwisata
Salah satu tempat hunian Suku Tengger terletak di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Terletak di tengah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), posisi Ngadas menjadi kantung (enclave) dari salah satu destinasi wisata nasional. Posisi Ngadas yang terletak di ketinggian mencapai 2.200 mdpl (meter di atas permukaan laut) dengan luas area sekitar 395 ha dan topografi berbukit membuatnya tidak kalah memesona dengan destinasi dunia negeri di atas awannya Tibet, China.
Bagaimana tidak memesona mata. Ngadas juga dijuluki negeri di atas awan karena bila sore hari tiba, awan menggantung di tebing-tebing curam di seputar desa. Awan putih lembut menyelimuti lembah yang mengapit Desa Ngadas yang seolah berada di atas awan.
"Selain alamnya yang menawan, budaya Suku Tengger di Ngadas masih terjaga. Inilah yang membuat Ngadas tidak kalah dengan destinasi wisata negara lainnya," kata Made Arya Wedanthara, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Malang, Senin (19/06).
Pesona Ngadas sebagai pintu masuk ke destinasi unggulan nasional, yaitu TNBTS, membuat para wisatawan sering melabuhkan dirinya terlebih dahulu di sini sebelum menikmati Bromo. ‘’Banyak pengunjung yang akan menuju Bromo, akhirnya menginap di sini,’’ kata Kepala Desa Ngadas Mujianto.
Ngadas bukan sekadar dijadikan tempat relaksasi semata, tetapi banyak pengunjung yang menjadikan ruang belajar mengenai adat istiadat Suku Tengger yang bertahan dan terjaga sampai kini. Masyarakat Ngadas masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan leluhurnya sejak tahun 1737. Berbagai keunikan budaya dan adat-istiadat masih terjaga dan terus diagungkan dalam berbagai kegiatan.
Menurut Aman, putra salah satu tokah Ngadas, Ngantrulin, yang merupakan dukun desa, kuatnya menjaga tradisi di Ngadas karena mereka yakin dengan melestarikannya akan memberikan keselamatan dari bahaya. "Sejarah Ngadas cukup panjang," ujar Aman. Dia menyampaikan. Suku Tengger merupakan keturunan dari Joko Seger dan Loro Anteng yang merupakan dewa dewi yang telah mengorbankan putra bungsunya atau putra ke-25 (Kusuma) sebagai sesaji untuk Gunung Bromo. Sesaji yang dilakukan Joko Seger membuat warga meyakini Gunung Bromo tidak akan meletus. Dan apabila ada letusan, tidak akan mengarah ke Ngadas.
"Sedangkan yang pertama membuka alas di Ngadas ini adalah Eyang Sedek pada abad ke-18 sebagai upaya perluasan pengaruh kerajaan Mataram Islam, Kraton Kasunanan Surakarta," lanjut Aman.
Baca Juga : Gandeng Kejari Malang, Disbudpar Kota Malang Sosialisasikan Aturan Hukum Bidang Kebudayaan
Eyang Sedek meninggal tahun 1831 dan dimakamkan di Ngadas. "Makamnya sampai saat ini terjaga bahkan disakralkan dan sering digunakan berbagai upacara adat, terutama saat melakukan ritual bersih desa," imbuhnya.
Sejarah Ngadas tersebut hidup sampai kini dan melebur dengan berbagai upacara keagamaan maupun upacara adat. Sesanti Titi Luri (mengikuti jejak para leluhur) yang mereka pegang teguh membuat setiap upacara, semisal Kasada dan Karo, dilakukan tanpa perubahan persis seperti yang dilaksanakan oleh para leluhurnya berabad-abad yang lalu. "Selain itu, Ngadas memiliki kekayaan kesenian yang sangat kental dibandingkan desa lain di kawasan Bromo-Tengger-Semeru," ujar Made Arya.
Dengan berbagai ragam kekayaan tersebut, angadas sejak tahun 2007 ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemerintah Kabupaten Malang. Tahun 2017 awal juga Ngadas ditetapkan sebagai desa adat dan juga menjadi prioritas untuk terus dikembangkan sebagai desa penunjang wisata TNBTS. (*)